Berkembangnya teknologi tentu memudahkan pekerjaan kita. Bahkan bukan cuma mudah tapi mempersingkat waktu pengerjaan. Munculnya teknologi digital ditambah kehadiran teknologi tiga dimensi membawa perubahan besar buat dunia pendidikan, permuseuman, dan bisnis. Scanner atau pemindai tiga dimensi kini telah menjadi kebutuhan pokok berbagai institusi. Begitu pula printer tiga dimensi beserta perlengkapan penunjangnya.
Kehadiran peralatan digital tersebut juga menunjang bidang heritage dan permuseuman. Pak Udaya Halim, pendiri Museum Benteng Heritage sekaligus tokoh pendidikan, mencontohkan banyak hal pada webinar sore tadi, Rabu, 25 November 2020.
Peraga pendidikan dengan digital jauh lebih mudah dimengerti anak-anak. Apalagi anak-anak memang sudah akrab dengan perangkat digital.
Menurut Pak Udaya, peralatan tiga dimensi juga bisa diterapkan pada benda-benda koleksi museum. Biasanya demi pengamanan, museum membuat replika atau miniatur koleksi yang tergolong maskot. Koleksi-koleksi inilah yang biasanya dibawa-bawa untuk pameran keliling atau pameran di luar museum.
Teknologi tiga dimensi, kata Pak Udaya, penting untuk membantu display dan restorasi artefak kuno. Tingkat keakuratan atau presisi artefak yang dibuat dengan peralatan ini sangat tinggi. Sangat identik dengan benda asli. Beberapa koleksi British Museum dibuat dengan teknologi ini, misalnya arca batu.
Koleksi yang dibuat dengan teknologi ini juga akan menghemat ruangan. Pak Udaya mencontohkan adanya miniatur perahu dan koleksi lain. "Bayangkan kalau dibuat secara ukuran penuh. Tentu akan membuat ruangan semakin sempit," kata Pak Udaya.
Contoh lain yang dikemukakan Pak Udaya adalah tentang gereja Notre Dame. Beberapa waktu lalu gereja di Prancis ini terbakar hebat. Namun karena sudah didokumentasikan secara digital, maka titik-titik pondasi gereja itu berhasil diketahui. Hal ini akan memudahkan rekonstruksi bangunan kuno tersebut.
Pada bagian lain Pak Udaya mencontohkan bangunan kuno di Lasem. Saat ini beliau tengah merekonstruksi sebuah rumah berarsitektur Tionghoa. Beliau dibantu oleh sejumlah tenaga dari Balai Konservasi Borobudur. Perlengkapan tiga dimensi di instansi tersebut memang terbilang canggih dibandingkan di tempat-tempat lain.
Ikut berbicara Pak Eric, seorang praktisi tiga dimensi. Beliau mencontohkan perbandingan antara kerja manual dengan hasil teknologi scan dalam pengerjaan sebuah vas. Ternyata dengan alat-alat canggih itu, pekerjaan menjadi sempurna. Pak Eric juga mencontohkan bangunan-bangunan heritage di Malang yang dibuatkan dokumentasinya dengan perlengkapan tiga dimensi.
Saat ini memang belum banyak museum atau instansi arkeologi yang menggunakan perlengkapan tiga dimensi. Maklum harganya masih tergolong mahal. Namun untuk berjaga-jaga dari kemungkinan terburuk, tentu saja perlengkapan seperti ini sangat diperlukan.
Pihak museum pun harus memiliki perlengkapan demikian, terutama untuk mengamankan koleksi yang tergolong adikarya. Semoga dengan gotong royong, display museum menjadi lebih baik. Dengan demikian semakin banyak dikunjungi masyarakat.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H