Candi Borobudur merupakan satu-satunya bangunan purbakala yang unik di Indonesia. Bangunan ini dapat dinaiki pengunjung dalam jumlah besar sekaligus.Â
Pengunjung bisa mengelilingi relief cerita yang ada. Pengunjung pun bisa menikmati arca-arca yang ada pada stupa sekaligus menikmati pemandangan dari tingkat teratas.
Karena bisa dinaiki pengunjung, maka kondisi Candi Borobudur sangat rawan. Memang sudah sejak lama Candi Borobudur dikagumi para wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara. Dunia mengaguminya, begitulah kalau kita meminjam kata-kata dari sebuah iklan.
Ketika Borobudur berada dalam kondisi kritis, dunia membantu. Berbagai sumbangan dana dan tenaga ahli mengalir ke Borobudur. Bertahun-tahun pemugaran besar dilakukan di Borobudur. Akhirnya purnapugar selesai pada 23 Februari 1983.
Pariwisata memang mampu menghasilkan devisa buat negara. Lihat saja dalam masa pandemi Covid ini. Ketika pemerintah melakukan pembatasan, jumlah wisatawan menurun drastis. Tentu saja perekonomian terpukul, termasuk kedatangan wisatawan ke Borobudur.
Sebaliknya pariwisata juga bisa menghasilkan dampak negatif buat Borobudur. Sejak lama di Borobudur terjadi vandalisme, kerusakan batu akibat gesekan alas kaki pengunjung, dan pengotoran.Â
Jika pariwisata semakin meningkat, tentu semakin meningkat pula dampak negatif tersebut. Merawat Candi Borobudur sebaik mungkin dengan meminimalisasi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif tentu memerlukan dukungan banyak pihak dan kesadaran masyarakat sendiri.
Pada 1985 penulis melakukan penelitian di Candi Borobudur dengan topik "Pengunjung dan Masalah Konservasi Candi Borobudur". Penulis mengamati tingkah laku pengunjung. Penulis mengamati juga bagian-bagian mana dari candi yang mengalami kerusakan/keausan.
Bagian lantai candi terlihat banyak aus di sana-sini. Bagian tangga lebih parah. Mungkin karena tekanan sewaktu turun lebih besar. Namun pada prinsipnya terjadi keausan karena gesekan dengan alas kaki pengunjung. Beberapa stupa pun kerap dinaiki karena mitos arca Kunta Bhima. Lapik stupa tampak rusak di beberapa bagian.
Penyebab keausan sudah diketahui, lalu sekarang apa solusinya? Waktu itu penulis mengusulkan beberapa hal, seperti pembatasan jumlah pengunjung yang menaiki candi. Rombongan pengunjung harus terkoordinasi dalam jumlah dan waktu tertentu, terutama pada musim libur.
Selain itu penulis mengusulkan pengunjung memakai alas kaki khusus yang lembut dan melapisi anak tangga/lantai candi dengan bahan yang awet dan tidak licin. Beberapa tahun lalu penulis pernah membaca kalau pengelola Candi Borobudur mengadakan sayembara untuk pembuatan alas kaki khusus.
Awal 2020 sebelum pandemi meluas, berbagai media ramai memberitakan kalau pihak Balai Konservasi Borobudur (BKB) memiliki rencana penambahan lapisan kayu di bagian tangga Candi Borobudur. Hal ini dilakukan demi meminimalisasi keausan atau kerusakan pada batu candi karena terkikis oleh alas kaki pengunjung.
Menurut Kepala BKB saat itu, Tri Hartono, kunjungan dua juta pengunjung pada 2009 menyebabkan batu mengalami aus dua milimeter. Kalau jumlah pengunjung rata-rata segitu, maka dalam waktu 10 tahun keausan menjadi 20 milimeter atau dua sentimeter. Merunut pernyataan Pak Tri, tentu saja ulah pengunjung harus bisa berubah.
Meskipun baru diaplikasikan pada 2020---berarti 35 tahun kemudian---penelitian tadi jelas menunjukkan untuk memberi manfaat atau bermanfaat, kita harus menunggu.Â
Semoga pandemi segera berlalu dan jumlah pengunjung menjadi normal kembali. Dari sini kita akan tahu plus minusnya menggunakan alas kaki atau kayu pelapis. Dengan demikian ilmu konservasi yang dikembangkan arkeologi bisa lebih ditingkatkan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H