Pada masa Hamengkubuwono VII dan VIII dikenal bir Jawa, terbuat dari ekstrak rempah. Ada 10 macam rempah untuk membuat bir Jawa, yakni cengkeh, kayumanis, kayu secang, mesoyi, kemukus, lada, pala, jahe, serai, dan jeruk nipis. Dulu rahasia tapi kini sudah menyebar. Â Â
Hidangan favorit para raja itu dimasak di dapur keraton. Saat ini ada empat dapur di Keraton Yogyakarta yang masih aktif, yaitu Pawon Gebulen, Pawon Sekulanggen, Pawon Ageng Prabeya, dan Gedhong Patehan.
Menurut Prof. Murdijati, secara umum hidangan para bangsawan sempat tercatat di dalam buku milik Keraton Yogyakarta. Sekitar 61,4 persen merupakan hidangan yang biasa dimasak oleh masyarakat Yogyakarta, bahkan diadopsi oleh masyarakat pendatang, contohnya gudeg, sayur lodeh, dan brongkos.Â
Dalam gempuran makanan impor, ternyata budaya rempah di Yogyakarta masih eksis. Prof. Murdijati mengusulkan agar ada inovasi dalam penyajian dan cara berkomunikasi dalam pemasaran yang dapat menyasar generasi milenial.
Tjahjono Prasodjo, ahli membaca prasasti (epigraf) dari Jurusan Arkeologi UGM, ikut berbicara pada kegiatan tersebut. Menurutnya, informasi yang ia peroleh masih terbatas. Masih banyak istilah kuliner dan rempah-rempah yang belum diketahui padanan/artinya.
Dalam Prasasti Panggumulan dari masa 902 Masehi, misalnya, hanya disebutkan jenis makanan nasi mantiman, ikan asin kadiwas, rumahan, layarlayar, halahala, amwil amwil, kasyan, dan dudutan. Ada pula minuman keras siddhu, twak, dan jatirasa. Sampai sejauh ini belum diketahui bahan-bahan yang digunakan pada makanan dan minuman tersebut.
Pembicara lain Pak Sumadi dari Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta. Kegiatan dimoderatori oleh Pak Andi Putranto, dosen Arkeologi UGM. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya DI Yogyakarta Ibu Azzah Zaimul berkenan membuka kegiatan daring itu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H