Indonesia negara kaya. Bayangkan di seluruh Indonesia terdapat 135 ragam bumbu, terdiri atas enam kategori. Keenam kategori itu adalah segar dan utuh (daun salam dan sereh), kering dan utuh (cengkeh dan kayumanis), segar dan lumat (bawang merah dan bawang putih), kering dan lumat (ketumbar dan lada), segar dan diiris (cabai dan daun jeruk), dan diparut (pala dan lengkuas).Â
Demikian terungkap dari paparan seorang ahli gastronomi, Prof. Dr. Ir. Murdijati Gardjito dalam diskusi daring bertopik "Budaya Rempah-rempah dalam Khazanah Kuliner di Daerah Istimewa Yogyakarta" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DI Yogyakarta. Â
Prof. Murdijati adalah peneliti kuliner di kalangan keraton. Menurutnya, K.G.P.A.A. Mangkubumi memiliki kesukaan beberapa jenis makanan pembuka, makanan utama, lauk pauk, kudapan, dan makanan penutup.
Lain lagi Hamengkubuwono VII. Beliau menyukai dendeng age. Memasak dendeng age memerlukan waktu lama. Soalnya tukang masak harus menyiapkan bahan dan bumbu. Apalagi masaknya harus berkali-kali.Â
"Dendeng age menggunakan daging kualitas prima yang dicincang, dibentangkan di sapitan bambu lalu dibakar sambil diolesi cairan santan yang diberi bumbu bawang merah, bawang putih, ketumbar, daun salam, gula kelapa, dan garam," kata Prof. Murdijati.
Demikian juga memasak blebet dan kalak ati, cukup rumit. Karena merupakan masakan keraton, menu ini seakan menjadi rahasia untuk masyarakat di luar keraton.
Makanan utama di dalam keraton berupa dhahar ijem, yakni nasi yang ditanak dengan ekstrak daun pandan. Selain itu ada bethak ayam, yakni nasi yang ditanak dengan brambang salam dan ayam.
Bukan hanya pada makanan, rempah-rempah juga digunakan untuk minuman, misalnya jamu. Keluarga bangsawan keraton selalu rutin minum jamu untuk menjaga kesehatan, kebugaran, dan kecantikan.Â
Setiap keluarga, menurut Prof. Murdijati, memiliki lemari untuk menyimpan rempah (bothekan), peralatan membuat jamu, dan peralatan minum jamu. Umumnya jamu terbuat dari ekstrak rimpang/daun/buah yang dianggap memiliki khasiat menyehatkan.
Pada masa Hamengkubuwono VII dan VIII dikenal bir Jawa, terbuat dari ekstrak rempah. Ada 10 macam rempah untuk membuat bir Jawa, yakni cengkeh, kayumanis, kayu secang, mesoyi, kemukus, lada, pala, jahe, serai, dan jeruk nipis. Dulu rahasia tapi kini sudah menyebar. Â Â
Hidangan favorit para raja itu dimasak di dapur keraton. Saat ini ada empat dapur di Keraton Yogyakarta yang masih aktif, yaitu Pawon Gebulen, Pawon Sekulanggen, Pawon Ageng Prabeya, dan Gedhong Patehan.
Menurut Prof. Murdijati, secara umum hidangan para bangsawan sempat tercatat di dalam buku milik Keraton Yogyakarta. Sekitar 61,4 persen merupakan hidangan yang biasa dimasak oleh masyarakat Yogyakarta, bahkan diadopsi oleh masyarakat pendatang, contohnya gudeg, sayur lodeh, dan brongkos.Â
Dalam gempuran makanan impor, ternyata budaya rempah di Yogyakarta masih eksis. Prof. Murdijati mengusulkan agar ada inovasi dalam penyajian dan cara berkomunikasi dalam pemasaran yang dapat menyasar generasi milenial.
Tjahjono Prasodjo, ahli membaca prasasti (epigraf) dari Jurusan Arkeologi UGM, ikut berbicara pada kegiatan tersebut. Menurutnya, informasi yang ia peroleh masih terbatas. Masih banyak istilah kuliner dan rempah-rempah yang belum diketahui padanan/artinya.
Dalam Prasasti Panggumulan dari masa 902 Masehi, misalnya, hanya disebutkan jenis makanan nasi mantiman, ikan asin kadiwas, rumahan, layarlayar, halahala, amwil amwil, kasyan, dan dudutan. Ada pula minuman keras siddhu, twak, dan jatirasa. Sampai sejauh ini belum diketahui bahan-bahan yang digunakan pada makanan dan minuman tersebut.
Pembicara lain Pak Sumadi dari Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta. Kegiatan dimoderatori oleh Pak Andi Putranto, dosen Arkeologi UGM. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya DI Yogyakarta Ibu Azzah Zaimul berkenan membuka kegiatan daring itu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H