Menurut Edhie Wurjantoro, epigraf dari Jurusan Arkeologi UI, hurufnya agak bulat dan miring ke kanan. Bentuk ini biasa digunakan pada prasasti masa Rakai Kayuwangi (778---804 Saka) sampai masa Rakai Watukura Dyah Balitung (820---832 Saka). Isi prasasti tentang penetapan sawah di desa Wayuku menjadi sima (tanah yang dilindungi) untuk wihara Abhayananda oleh Rakai si sair pu wiraja. Lihat alih aksara dan terjemahan berikut:
Dalam penanggalan Saka, satu bulan dibagi atas dua bagian, yakni paro gelap dan paro terang, yang masing-masing terdiri atas 15 hari. Paro terang dimulai dari saat bulan mulai muncul (tanggal 1) sampai menjelang bulan purnama (tanggal 15). Sementara wurukung adalah hari ketiga dari minggu yang enam hari (sadwara).
Pengetahuan tentang prasasti harus dilestarikan karena informasi sejarah kuno Nusantara terdapat di sana. Selama ini banyak informasi belum terungkap kendala pembacaan prasasti.Â
Ada yang perlu dibaca ulang, terutama yang dianggap meragukan. Ada pula yang belum dibaca karena kelangkaan peminat. Karena itu kelengkapan sejarah kuno Nusantara tergantung epigraf dengan pembacaan prasastinya. Semoga pakar-pakar epigrafi segera bermunculan. Apalagi masih banyak prasasti yang terpendam di dalam tanah.***
Sumber bacaan:
- Edhie Wurjantoro, Anugerah Sri Maharaja, Kumpulan Alihaksara dan Alihbahasa Prasasti-prasasti jawa Kuno dari Abad VIII-XI, 2018.
- Trigangga dkk, Prasasti Batu, Pembacaan Ulang dan Alih Aksara, 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H