Membaca tulisan kuno pada prasasti sungguh tidak mudah. Prasasti sering disebut batu bertulis, meskipun sebenarnya ada juga prasasti yang dipahat di atas logam. Ada berbagai tahapan untuk menangani prasasti.
Pertama, membaca langsung di lokasi. Kalau aksaranya masih jelas tentu memakan waktu singkat. Namun kalau aksaranya ada yang aus, hilang, atau rusak, hal ini membutuhkan waktu cukup lama.
Kedua, membuat abklats atau cetakan tiruan prasasti. Abklats bisa dibuat menggunakan kertas singkong dengan bantuan air.
Ketiga, membuat faksimili. Kalau abklats bersifat basah, maka faksimili bersifat kering. Cara membuat faksimili adalah menekan-nekan batu di luar huruf dengan tinta hitam, arang, atau pensil. Maka yang tampil adalah permukaan batu di sekitar hurufnya. Hurufnya sendiri jadi berwarna putih.
Lihat [di sini].
Keempat, membuat foto dengan kamera digital. Saat ini teknologi semakin berkembang. Potret prasasti tersebut dengan resolusi tinggi. Bisa langsung sekali foto, atau lebih dari satu kali. Tergantung panjang pendeknya tulisan pada prasasti. Â Setelah itu pindahkan ke komputer dan hubungkan dengan proyektor.
Aksara dan bahasa kuno kini telah mati. Hanya dipelajari oleh generasi masa kini, terutama arkeologi, untuk mengetahui bagaimana sejarah kuno Nusantara. Umumnya prasasti berasal dari abad ke-5 hingga ke-15.
Sering kali kita memperoleh masalah dalam menangani prasasti. Karena ada aksara yang samar atau rusak, kadang timbul lebih dari satu pendapat. Misalnya soal angka tahun. Si A boleh jadi berpendapat 756. Lalu si B berpendapat lain, 766. Pakar lain, taruhlah si C, berpendapat 856. Hal demikian bisa terjadi, tergantung bagaimana pemahaman si peneliti.
Selama belum ada pendapat pasti, kita harus memberi catatan pada tarikh tersebut. Syukur-syukur kalau aksaranya jelas sehingga tidak ada perbedaan pandangan.
Kita ambil contoh Prasasti Wayuku bertarikh 766 Saka yang berhuruf dan berbahasa Jawa Kuno. Untuk mendapatkan tahun Masehi, kita harus menambah 78 tahun, jadi 844 Masehi. Prasasti batu koleksi Museum Nasional Jakarta itu masih dalam kondisi baik. Aksaranya terpahat rapi dan masih jelas terbaca dalam enam baris tulisan.
Namun tempat penemuan prasasti yang masih simpang siur. Edhie Wurjantoro menyebutkan dari Wonosobo. Maklum, prasasti ini tinggalan zaman Hindia-Belanda. Melihat aksaranya, pakar lain menafsirkan prasasti itu berasal dari Jawa Tengah, tepatnya di Dieng.
Menurut Edhie Wurjantoro, epigraf dari Jurusan Arkeologi UI, hurufnya agak bulat dan miring ke kanan. Bentuk ini biasa digunakan pada prasasti masa Rakai Kayuwangi (778---804 Saka) sampai masa Rakai Watukura Dyah Balitung (820---832 Saka). Isi prasasti tentang penetapan sawah di desa Wayuku menjadi sima (tanah yang dilindungi) untuk wihara Abhayananda oleh Rakai si sair pu wiraja. Lihat alih aksara dan terjemahan berikut:
Dalam penanggalan Saka, satu bulan dibagi atas dua bagian, yakni paro gelap dan paro terang, yang masing-masing terdiri atas 15 hari. Paro terang dimulai dari saat bulan mulai muncul (tanggal 1) sampai menjelang bulan purnama (tanggal 15). Sementara wurukung adalah hari ketiga dari minggu yang enam hari (sadwara).
Pengetahuan tentang prasasti harus dilestarikan karena informasi sejarah kuno Nusantara terdapat di sana. Selama ini banyak informasi belum terungkap kendala pembacaan prasasti.Â
Ada yang perlu dibaca ulang, terutama yang dianggap meragukan. Ada pula yang belum dibaca karena kelangkaan peminat. Karena itu kelengkapan sejarah kuno Nusantara tergantung epigraf dengan pembacaan prasastinya. Semoga pakar-pakar epigrafi segera bermunculan. Apalagi masih banyak prasasti yang terpendam di dalam tanah.***
Sumber bacaan:
- Edhie Wurjantoro, Anugerah Sri Maharaja, Kumpulan Alihaksara dan Alihbahasa Prasasti-prasasti jawa Kuno dari Abad VIII-XI, 2018.
- Trigangga dkk, Prasasti Batu, Pembacaan Ulang dan Alih Aksara, 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H