Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perploncoan pada Masa Kolonial, Junior Menjadi Kurir Para Senior

19 September 2020   17:17 Diperbarui: 20 September 2020   21:33 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-1926 (koleksi pribadi)

Sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia, baru kali ini perploncoan dilakukan secara daring. Maklum, sekarang masih dalam kondisi gawat manakala pandemi Covid belum berakhir. 

Banyak hal  dilakukan dari rumah, demi memutus mata rantai penyebaran Covid. Apalagi saat ini teknologi sudah berkembang sehingga memungkinkan bekerja atau belajar jarak jauh.

Namun, hal-hal yang tidak terduga kerap muncul. Beberapa hari ini muncul video viral tentang perploncoan. Ada mahasiswi baru yang dibentak seniornya. Ia harus mencoret wajah sendiri dengan lipstik.

Ada juga perploncoan luring ketika mahasiswa baru diminta para senior untuk meminum dan melepehkan air di satu gelas yang sama. Selanjutnya gelas itu diberikan kepada mahasiswa baru lain di sebelahnya.

Pasti masih banyak mahasiswa baru yang 'dikerjain' senior-senior mereka. Namun sampai sejauh ini belum beredar ke masyarakat.

Buku Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-1926 (koleksi pribadi)
Buku Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-1926 (koleksi pribadi)
Tidak mendidik

Perploncoan demikian jelas tidak mendidik. Dari tahun ke tahun perploncoan memang selalu ada, dengan nama atau istilah yang berbeda.

Dulu waktu saya kuliah namanya OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus). Sebelumnya dikenal dengan istilah Mapram (Masa Prabakti Mahasiswa).

Plonco identik dengan kepala gundul (untuk pria) dan rambut dengan pita warna-warni (untuk wanita). Mereka membawa pengki bambu dan karung goni.

Saya ingat pernah beberapa hari mengikuti OSPEK. Memang mengesalkan dan membuat repot seisi rumah.

Bayangkan, kaos putih harus diberi warna kuning. Untuk itu seisi rumah harus mencari wantex (semacam zat pewarna) ke sana ke mari.

Selanjutnya ada aturan, mahasiswa baru harus naik kendaraan umum. Dari jalan raya kami harus memakai payung hitam ke area kampus. Terpaksa beli payung hitam. Mahasiswa baru yang berkumis, harus memotong separuh kumisnya.

Baru kira-kira separuh jalan, OSPEK dihentikan oleh dekan karena dianggap tidak mendidik. Mahasiswa baru senang bukan main, sebaliknya panitia OSPEK sempat meradang.

Tahun-tahun berikutnya saya lihat mahasiswa baru harus menggunakan dasi dari pete. Tak terbayang baunya meskipun enak dimakan buat yang doyan. Entah di kampus mana, ketika itu ada mahasiswa baru yang harus membawa pisang sepanjang 15 cm. Bahkan harus membawa sebungkus coklat untuk kakak senior. Tentu repot mencari pisang demikian.

Jelas tidak ada unsur pendidikan. Malah cenderung 'ngerjain' mahasiswa baru. Ada juga unsur 'balas dendam'.

Entah sudah beberapa kali ganti nama perploncoan. Terakhir saya dengar namanya Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB).

Gedung STOVIA yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional (Foto: bobo.grid.id)
Gedung STOVIA yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional (Foto: bobo.grid.id)
Tradisi kolonial

Tradisi perploncoan dikenal di Tanah Air sejak masa kolonial. Hal itu saya ketahui dari buku Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-1926 terbitan Museum Kebangkitan Nasional (2014). 

Salah satu perploncoan berlangsung di Sekolah Kedokteran Bumiputera STOVIA pada 1902. Saat ini Gedung STOVIA dikenal sebagai Museum Kebangkitan Nasional, terletak di Jalan Abdul Rahman Saleh No. 26, persis di sebelah RSPAD Gatot Subroto.

Menurut seorang dokter Hindia, Jacob Samallo, para murid baru harus memanggil seniornya dengan sebutan "Tuan".

Mereka disuruh untuk mengelap sepatu, mengatur dipan, mengisi lampu, dan terkadang menjadi kurir dari para senior.

Beberapa rekan senior meminta para yunior untuk membayarkan makanan yang sudah mereka pesan. Selain itu para siswa baru diperlakukan seperti militer.

Semua kegiatan perploncoan berlangsung tepat waktu. Pada pagi hari pukul setengah delapan lonceng berbunyi (sekolah dimulai), pukul setengah enam (belajar sore selesai), pukul setengah delapan (belajar petang dimulai), pukul setengah sepuluh (belajar petang selesai), pukul sepuluh (apel) dan kadang-kadang pada pukul 12 malam masih ada apel tambahan. 

Di luar lingkungan STOVIA, setiap murid wajib untuk memakai topi seragamnya dan jika ketahuan tertangkap tanpa tanda pengenal tersebut maka mereka diberi hukuman berupa pengurungan kamar selama satu sampai dua hari. Begitu uraian dari halaman 242.

Kembali ke perploncoan masa kini, apa pun namanya pasti ada upaya untuk 'ngerjain' mahasiswa baru. Semoga ada pemikiran dari pihak Kemendikbud untuk mengadakan kegiatan yang bermanfaat secara edukasi tanpa ada unsur 'balas dendam' atau 'ngerjain'.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun