Selanjutnya ada aturan, mahasiswa baru harus naik kendaraan umum. Dari jalan raya kami harus memakai payung hitam ke area kampus. Terpaksa beli payung hitam. Mahasiswa baru yang berkumis, harus memotong separuh kumisnya.
Baru kira-kira separuh jalan, OSPEK dihentikan oleh dekan karena dianggap tidak mendidik. Mahasiswa baru senang bukan main, sebaliknya panitia OSPEK sempat meradang.
Tahun-tahun berikutnya saya lihat mahasiswa baru harus menggunakan dasi dari pete. Tak terbayang baunya meskipun enak dimakan buat yang doyan. Entah di kampus mana, ketika itu ada mahasiswa baru yang harus membawa pisang sepanjang 15 cm. Bahkan harus membawa sebungkus coklat untuk kakak senior. Tentu repot mencari pisang demikian.
Jelas tidak ada unsur pendidikan. Malah cenderung 'ngerjain' mahasiswa baru. Ada juga unsur 'balas dendam'.
Entah sudah beberapa kali ganti nama perploncoan. Terakhir saya dengar namanya Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB).
Tradisi perploncoan dikenal di Tanah Air sejak masa kolonial. Hal itu saya ketahui dari buku Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-1926 terbitan Museum Kebangkitan Nasional (2014).Â
Salah satu perploncoan berlangsung di Sekolah Kedokteran Bumiputera STOVIA pada 1902. Saat ini Gedung STOVIA dikenal sebagai Museum Kebangkitan Nasional, terletak di Jalan Abdul Rahman Saleh No. 26, persis di sebelah RSPAD Gatot Subroto.
Menurut seorang dokter Hindia, Jacob Samallo, para murid baru harus memanggil seniornya dengan sebutan "Tuan".
Mereka disuruh untuk mengelap sepatu, mengatur dipan, mengisi lampu, dan terkadang menjadi kurir dari para senior.
Beberapa rekan senior meminta para yunior untuk membayarkan makanan yang sudah mereka pesan. Selain itu para siswa baru diperlakukan seperti militer.