Meskipun Indonesia sudah merdeka pada 1945, namun ternyata Indonesia belum mempunyai uang logam (koin) sendiri. Selama beberapa tahun sempat berlaku koin Nederlandsch-Indie dalam nominal , 1, dan 2 Cent.
Ketiga koin berbahan tembaga. Koin yang berukuran paling besar, yakni nominal 2 Cent disebut benggol. Uang benggol sering digunakan untuk kerokan.
Baru pada 1951 Indonesia mengeluarkan koin sendiri. Koin itu bernilai 5 Sen dan berbahan aluminium. Tempat pencetakan koin, menurut www.colnect.com, Â adalah Royal Mint Belanda (Koninklijke LEIDONG Munt), di Utrecht, Belanda. Berat dan diameter koin 1,3 gram dan 22 mm. Ketebalan koin 1,5 mm. Pada bagian tengah koin terdapat lubang bundar. Penerbitan terakhir 1954.
Pada sisi depan tertulis nama Indonesia dalam aksara Latin, sementara pada sisi lain juga bertuliskan Indonesia dalam aksara Arab Melayu.
Pada 1952 dikeluarkan koin 1 Sen dalam ukuran lebih kecil dari koin 5 Sen. Koin 1 Sen pun berbahan aluminium dengan berat 0.7 gr, diameter 18 mm, dan tebal 1,3 mm. Data teknis lain sama seperti koin 5 Sen.
Pada 1951 juga diterbitkan koin 10 Sen dengan diameter 24 mm. Aksara Arab Melayu masih terdapat pada bagian belakang. Demikian pula pada penerbitan selanjutnya, 1954. Baru pada penerbitan 1957 nama Indonesia ditulis dengan aksara Latin.
Pada 1952 diterbitkan koin 25 Sen dengan diameter 26 mm. Nama Indonesia masih ditulis dalam aksara Arab Melayu. Baru pada penerbitan 1955 dan 1957 nama Indonesia ditulis dengan aksara Latin.
Pada 1952 juga diterbitkan koin 50 Sen bergambar Diponegoro dengan diameter 20 mm. Koin ini terbuat dari kupro-nikel. Pada bagian depan terdapat tulisan Dipanegara dalam aksara Latin dan Arab Melayu. Pada 1954, 1955, dan 1957 terbit lagi koin Diponegoro. Namun aksara Arab Melayu pada bagian depan sudah tidak ada lagi.
Dengan demikian aksara Arab Melayu digunakan sampai 1954.
Setelah itu aksara Arab tidak ada lagi dalam koin Indonesia. Semuanya digantikan aksara Latin.
Sebenarnya sebelum 1951 pun, aksara Arab sudah dipakai dalam koin Nederlandsch-Indie. Selama bertahun-tahun memang aksara Arab Melayu digunakan pada sastra, pendidikan, dan bahasa resmi kerajaan di Nusantara. Aksara itu ditemukan pada koin dan naskah.
Rupanya aksara Arab Melayu sudah familiar dengan masyarakat Nusantara ketika itu. Sebagian besar dari mereka buta aksara Latin. Namun sejalan dengan pembangunan fisik pasca kemerdekaan, pembangunan manusia pun tetap diperhatikan. Sedikit demi sedikit pemerintah RI mulai memberantas buta aksara.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H