Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kata HOS Tjokroaminoto kepada Bung Karno, "Menulislah Seperti Wartawan dan Berbicaralah Seperti Orator"

18 Agustus 2020   15:06 Diperbarui: 18 Agustus 2020   15:07 2115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 1938-1942 Sukarno pernah diasingkan oleh Belanda ke Bengkulu. Saat ini rumah tempat tinggal Sukarno masih ada. Begitu juga isinya, seperti buku, lemari, pakaian, sepeda, dan foto-foto keluarga. 

Tempat pengasingan Sukarno dan isinya itu, sejak lama dilestarikan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi. BPCB Jambi memiliki wilayah kerja Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Bangka-Belitung.

Demikian terungkap dari seminar daring oleh BPCB Jambi, pada Selasa, 18 Agustus 2020. Mengingat masih dalam suasana proklamasi, maka topik yang dibicarakan adalah Konservasi Kertas Koleksi Buku Bung Karno. 

Narasumber kegiatan itu Dr. Junus Satrio Atmodjo (Tim Ahli Cagar Budaya Nasional), Aris Riyadi (Perpustakaan Nasional), dan Rhis Eka Wibawa (BPCB Jambi). 

Sebagai moderator Novie Hari Putranto (BPCB Jambi). Kegiatan dibuka oleh Pak Iskandar M. Siregar, Kepala BPCB Jambi, yang sebentar lagi akan bertugas sebagai Kepala BPSMP Sangiran.

Buku yang hancur karena rayap (Foto: Aris Riyadi)
Buku yang hancur karena rayap (Foto: Aris Riyadi)
Membaca

Narasumber pertama, Pak Junus, bercerita tentang Sukarno yang gemar membaca. Ia putera bangsawan dan guru sehingga memperoleh pendidikan yang baik. Sukarno menyelesaikan pendidikan di sekolah-sekolah berbahasa Belanda, termasuk ITB (Technische Hoogeschool te Bandoeng).

Sebenarnya Sukarno, kata Pak Junus, berlatar insinyur sipil bidang pengairan. Namun kemudian ia belajar kepada Prof. Schoemaker, soal ide-ide kreatif dan arsitektur dari sang profesor yang terkenal eksentrik itu.

Menurut Pak Junus, Sukarno juga terpengaruh oleh HOS Tjokroaminoto karena Sukarno pernah kos di rumah Tjokroaminoto. Ketika itu Tjokroaminoto berkata, "Jika ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Kata-kata Tjokroaminoto sangat membekas di hati Sukarno.

Kelak, Sukarno melahirkan beberapa buku yang hingga kini masih dianggap berkualitas tinggi, antara lain Dibawah Bendera Revolusi. Buku yang terdiri atas dua jilid itu, beberapa kali dicetak ulang.     

Kegiatan konservasi buku-buku Bung Karno di BPCB Jambi (Foto: Rhis Eka W.)
Kegiatan konservasi buku-buku Bung Karno di BPCB Jambi (Foto: Rhis Eka W.)
Serangga

Pak Aris memaparkan, pada umumnya ada enam penyebab kerusakan koleksi kertas, yakni suhu/kelembaban, agen biologis, cahaya, serangga, polusi udara, dan vandalisme. 

Tentang serangga yang paling bahaya adalah rayap. "Untuk itu kita harus membunuh ratu rayap, jangan prajuritnya," kata Pak Aris. Rayap sendiri ternyata terdiri atas beberapa golongan, seperti ratu, raja, prajurit, dan pekerja.

Jenis kerusakan diketahui bermacam-macam, antara lain foxing (noda, umumnya berwarna kecoklatan), bolong, sobek, dan tintanya blobor. Biasanya semakin rendah kualitas kertas, semakin mudah dimakan serangga.  Kertas koran diketahui paling rentan menghadapi kerusakan.

Menurut Pak Rhis, BPCB Jambi telah melakukan konservasi terhadap 20-an buku koleksi Sukarno. Ketika itu banyak masyarakat datang ke sana. 

Nah, kalau ingin menimbulkan apresiasi dari masyarakat, sudah saatnya pihak arkeologi melakukan kegiatan lapangan yang melibatkan masyarakat. Tentu asalkan tidak mengganggu kegiatan arkeologi itu.

Cukup banyak pertanyaan dalam kegiatan itu. Ada yang bertanya tentang pelestarian lontar, melestarikan naskah kuno yang berada di tempat pemiliknya, serta cara konservasi tradisional dengan cengkeh, kopi, dan lada.

Yang jelas konservasi buku berlangsung cukup lama. Soalnya harus dilakukan lembar demi lembar. Bayangkan, bila ketebalan buku 200 halaman dan buku yang harus dikonservasi berjumlah banyak.***  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun