Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Trigangga, Arkeolog dengan Keahlian Epigrafi dan Numismatik

17 Juli 2020   09:58 Diperbarui: 17 Juli 2020   15:52 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karikatur tentang Trigangga, prasasti, dan kaca pembesar (Dok. Trigangga)

Kepergiannya begitu mendadak pada 4 Januari 2020. Padahal beberapa hari sebelumnya saya sempat bertemu dengan beliau pada acara di Museum Nasional. Malah sehabis acara, saya ditraktir nasi goreng kambing di kantin sebelah Museum Nasional.

Trigangga, begitulah nama beliau. Sering disapa dengan Pak Gangga atau Pak Tri. Ia pensiun dari Museum Nasional per 1 Mei 2018. Maklum, beliau kelahiran 11 April 1960.

Karikatur tentang Trigangga, prasasti, dan kaca pembesar (Dok. Trigangga)
Karikatur tentang Trigangga, prasasti, dan kaca pembesar (Dok. Trigangga)
Arkeologi

Gangga masuk arkeologi pada 1979. Ia senang arkeologi karena berasal dari Jurusan Bahasa sewaktu SMA. Nilai Bahasa Jawa Kunonya tinggi.

Di Jurusan Arkeologi UI ia mengambil spesialisasi epigrafi. Epigrafi adalah ilmu yang mempelajari prasasti, yakni tulisan kuno yang terdapat pada batu atau media lain seperti tembaga, perunggu, dan emas.

Seusai lulus pada 1986, ia memulai karier di Museum Nasional. Di sana ia menekuni keahliannya itu, epigrafi. Museum Nasional memang banyak memiliki prasasti. Umumnya berbahasa Jawa Kuno. Nah, Gangga sering membaca ulang prasasti-prasasti yang sudah dibaca oleh epigraf-epigraf sebelumnya. Maklum mereka umumnya berkebangsaan Eropa, sehingga memungkinkan perbedaan penafsiran.

Selain epigrafi, Gangga pernah menangani numismatik atau uang-uang kuno. Apalagi beberapa prasasti mengungkapkan jenis mata uang yang berlaku saat itu. Kloplah, dunia epigrafi berkaitan dengan dunia numismatik.

Saya pernah menulis tentang Gangga dan prasasti [DI SINI].

Kenangan bersama Trigangga (kiri) melihat-lihat prasasti di Bogor, 1981 (Dokpri)
Kenangan bersama Trigangga (kiri) melihat-lihat prasasti di Bogor, 1981 (Dokpri)
Hal baru

Banyak hal baru terungkap lewat penelitian epigrafi. Gangga merinci unsur-unsur penanggalan dalam prasasti, yakni warsa, masa (bulan lunar), samkranti (bulan solar), tithi & paksa, nama tithi, karana, wara, wuku, naksatra & dewata, yoga, grahacara, mandala, parwwesa, rasi, dan muhurta. Maaf yah, kata-kata yang tertulis tidak memakai tanda diakritik.  

Lewat unsur-unsur itulah, Gangga berupaya mencari pertanggalan prasasti. Maklum ada prasasti yang memang tidak mencantumkan pertanggalan. Ada yang mencantumkan pertanggalan tapi sudah aus atau rusak dimakan usia. Gangga berupaya menggali sampai unsur waktu sekecil-kecilnya, yakni jam.

Gangga mahir demikian karena ia juga mendalami ilmu astronomi dan astrologi India. Bahasa Jawa Kuno merupakan perkembangan dari Bahasa Sanskerta yang berasal dari India yang tentu berkaitan. Ia aktif di kegiatan astronomi yang diselenggarakan Planetarium Jakarta. Untuk memadukan hobinya melihat benda langit, Gangga memiliki teropong panjang.  

Dua buku karya Trigangga (Dokpri)
Dua buku karya Trigangga (Dokpri)
Menulis

Hasil penelitiannya itu, ia tuangkan dalam berbagai tulisan. Tulisan berjudul "Posisi Bulan dan Matahari Berdasarkan Unsur-unsur Penanggalan Prasasti", ia persembahkan untuk gurunya menyambut 72 tahun Prof. Edi Sedyawati (2010).

Tulisan lain banyak dipublikasikan media cetak dan buletin/jurnal ilmiah. Bahkan ia menulis buku, baik prasasti maupun numismatik, yang sering menjadi acuan para peneliti selanjutnya.

Jabatan terakhir beliau di Museum Nasional adalah Kepala Bidang Kajian dan Pengembangan.

Gangga termasuk orang yang tidak ambisius. Ia tidak ingin memiliki gelar tinggi. Sebenarnya pada 1990-an ada tawaran untuk melanjutkan ke jenjang magister arkeologi di UI. Namun Gangga menolak dengan berbagai alasan. Akibatnya, yunior-yuniornya menyandang titel M.Hum (Magister Humaniora), Gangga tetap S.S (Sarjana Sastra) karena waktu itu bernama Fakultas Sastra UI.

Peramal

Berkat ketertarikannya kepada astronomi dan astrologi, Gangga pernah belajar astrologi India. "Gue mau jadi peramal kayak elo," katanya suatu ketika saya. Saya memang dikit-dikit belajar astrologi Barat dan astrologi Tiongkok.  

Ternyata astrologi India yang ia pelajari sungguh unik. Data kelahiran pada tahun Masehi, ia konversikan dulu ke dalam tahun Saka. Bayangkan, dari tahun sonar ke tahun lunar.

Sekitar 5 tahun lalu saya pernah diramal beliau. Hasilnya begini:  

Jika dikonversi ke dalam "panchagam" Astrologi India adalah sebagai berikut:

Tithi & paksha : dvitiya sukla
Karana : Kaulava
Nakshatra : Pushya (bintang Al-Tarf, 17-Cancri)
Yoga : Harshana (sudut antara 17320' - 18640')
Vara : Mangalavara (Selasa)
Rasi : Karkkata (Cancer)
Masha (bulan) : Ashadha
Shaka (tahun) : 1881

Bagaimana ya watak orang yang dilahirkan di bawah bintang Pushya yang dilambangkan "kepala sapi" ini? 'Dalam karakteristik perilaku mereka, mereka menampilkan aura ketenangan dan kesabaran yang berimbang. 

Dengan pandangan mereka yang kuat terhadap akarnya, warga Pushya Nakshatra jarang ditemukan melakukan tindakan tidak senonoh, vulgar dan non etis. 

Mereka suka bekerja mencapai tujuan mereka dengan kesabaran, ketekunan, dan konsentrasi. Ketika muncul pertanyaan untuk membantu orang lain, mereka jarang ditemukan menjadi keras dan melampaui batas. 

Cara penanganan mereka adalah rasa penuh hormat dan keramahtamahan. Karakteristik perilaku mereka menunjukkan sentuhan naluri keibuan di samping nilai-nilai kebajikan.

Jenis kebajikan berupa pendekatan filantropi dan kemanusiaan terpisah dari tingkah laku dingin adalah sifat-sifat positif mereka yang terkemuka. Sebagai penangkal kerusakan dan kekerasan, kualitas yang melekat dari penciptaan dan perluasan juga menambah sifat-sifat positif mereka. 

Dengan kualitas mereka untuk menciptakan, membangun dan memperluas; bersama dengan pandangan intrinsik terhadap asal usul, mereka melayani sebagai anggota keluarga yang sangat baik. Sifat-sifat kedamaian, relijius dan peduli juga tergolong sifat-sifat positif mereka.

Warga Pushya Nakshatra cocok kalau kerja yang berkaitan dengan konseling, administrasi publik, perencanaan, dan penelitian. Mereka juga berbakat jadi pemuka agama (pendeta, ulama, dsb), guru dan dosen.

Kita kehilangan arkeolog dengan keahlian epigrafi. Semoga tetap ada generasi penerus.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun