Kalau melihat foto-foto pada masa sekarang, terlihat betapa indahnya Candi Prambanan dan sekitarnya. Apalagi ada teknologi drone, sehingga kita bisa melihat kondisi candi dari ketinggian. Bukan itu saja, Candi Prambanan telah menjadi warisan budaya dunia dan pengelolaannya telah dikomersialkan. Sangat indah dipandang mata.
Terbayangkah kita bagaimana kondisi Candi Prambanan ketika pertama kali ditemukan pada abad ke-18? Porak-poranda dan tertutup belukar, begitulah singkatnya. Mungkin sejak ditinggalkan pendukungnya, Candi Prambanan terlantar. Selama ratusan tahun, sejumlah bencana seperti letusan gunung berapi dan gempa bumi ikut menambah derita candi tersebut.
Akibatnya batu-batu candi berserakan di mana-mana. Lalu karena ketidaktahuan masyarakat, batu-batu itu digunakan untuk pagar halaman, sumur, bahan bangunan, pengganjal pintu, bahkan pengeras jalan. Setelah kemerdekaan 1945 mulailah penanganan kembali Candi Prambanan. Istilahnya pemugaran.
Pemugaran dalam arkeologi bermakna mengembalikan bentuk bangunan sejauh mungkin seperti keadaan semula. Lalu bagaimana dengan batu-batu yang tersebar itu? Batu-batu tersebut seakan menjadi kunci suksesnya pemugaran. Namun batu-batu tersebut harus dikumpulkan terlebih dulu.
Perlu diketahui, Candi Prambanan demikian besar, tinggi, dan luas. Ada candi induk dan beberapa candi apit. Belum lagi candi-candi perwara yang berukuran kecil. Nah, bagaimana untuk melengkapi reruntuhan tersebut?
Bukan arkeolog berpendidikan tinggi yang mampu mengumpulkan batu sekaligus 'menjodohkan' pasangan batu. Mereka yang melakukan pekerjaan seperti itu disebut zoeker (pencari) dan steller (penyetel). Istilah bahasa Belanda itu populer karena kita pernah dikuasai Belanda. Tidak ada pendidikan untuk zoeker dan steller. Dasarnya hanyalah pengalaman dan belajar kepada para pendahulu.
Masalah zoeker dan steller menjadi topik perbincangan santai yang dilakukan secara daring oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY) pada Senin, 6 Juli 2020. Â Zoeker yang tampil Pak Mulyanto dengan steller Pak Winarto. Sebagai moderator Pak Indung dari BPCB DIY. Acara dibuka oleh Kepala BPCB DIY Ibu Azzah Zaimul.
Menurut Pak Mul, sebagai zoeker pekerjaannya adalah mengumpulkan data dan mencari tahu batu candi melalui buku atau belajar dari zoeker pendahulu. Ia belajar lapisan-lapisan pada candi. Soal batu-batu candi pun ia pelajari. Maklum batu candi tidak memakai semacam semen tapi pengait. Pengaitnya terdapat di kiri-kanan dan bawah-atas. Dengan adanya pengait, kondisi candi cukup kuat. Jadi tidak perlu semen atau putih telur sebagaimana cerita-cerita orang.
Dalam bekerja Pak Mul membawa sejumlah perlengkapan seperti mal atau pola. Ia sengaja membuat mal dengan tiga ukuran. Yah untuk mencocokkan batu yang sekiranya sesuai. Selain itu ia membawa sikat ijuk, linggis, pahat, rollmeter, dan waterpas. "Pokoknya dibutuhkan ketelitian dan ketekunan," katanya.
Begitu pun Pak Win. Batu-batu yang terkumpul kemudian diupayakan penyusunannya. Namanya susunan percobaan. Setiap batu beratnya sekitar 100 kg. Ada juga yang puluhan kg. Khusus untuk bagian pintu, beratnya sekitar 2 ton.
Sebagai gambaran, menurut Pak Mul dan Pak Win, candi perwara memiliki ukuran 6,8 meter x 6,8 meter dengan tinggi 13 meter. Ukuran sebesar itu terdiri atas 1.600 komponen batu. Susah mengukur prestasi mereka karena dalam sehari kadang tidak menemukan batu yang cocok.
Pekerjaan pemugaran termasuk lama dan rumit. Bayangkan pemugaran Candi Prambanan sampai kini belum selesai. Banyak batu masih belum ketemu, bahkan ada yang aus. Adanya batu-batu baru bisa dilihat di Candi Prambanan. Batu-baru baru diberi tanda, untuk membedakan dari batu asli.
Banyak keingintahuan masyarakat terahadap kegiatan pemugaran, sebagaimana dari pertanyaan mereka. "Dengan kemajuan foto dan teknologi yang ada, adakah kemungkinan untuk membuat semacam database dari batu yang ada untuk lebih memudahkan rekonstruksi? Bukan untuk meniadakan tugas para zoeker dan steller tapi untuk mempermudah pekerjaan mereka," tulis seorang penanya.
Ada lagi kesan dari seorang peserta, "Salut dengan Pak Mul dan Pak Win. Luar biasa ketajaman dan  ketelitian bapak dalam memilah dan memilih batu-batu candi. Tugas yang berat untuk suatu rekonstruksi."
Beberapa peserta juga menanyakan seberapa jauh terjadi regenerasi mengingat jumlah candi semakin banyak ditemukan. Lalu bagaimana cara zoeker dan steller menangani candi dari batu putih dan batu bata mengingat yang dibicarakan adalah candi berbahan batu andesit.
Nah, begitulah kerja zoeker dan steller. Gak gampang karena memerlukan daya ingat dalam  menandai batu. Agar candi menarik, memang diperlukan keterampilan 'menjodohkan' pasangan batu.***
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H