Benda apakah yang tidak lekang oleh zaman, baik ketika masih bisa digunakan maupun ketika sudah tidak bisa lagi digunakan oleh masyarakat? Salah satu jawaban yang pasti tentu saja uang. Pada saat masih berlaku, uang merupakan sumber utama buat hidup manusia.Â
Dengan uang, manusia bisa membeli sesuatu sesuai keinginan atau kebutuhan. Ketika sudah ditarik dari peredaran, uang menjadi buruan orang-orang yang mempunyai hobi khusus berkoleksi mata uang.Â
Para numismatis ini, begitulah sebutan khasnya, berkoleksi uang kertas, uang logam (koin), atau benda-benda yang berhubungan dengan numismatik. Faktor kelengkapan, keunikan, kelangkaan, dan kondisi koleksi menjadi perhatian utama mereka, terutama jika memiliki 'grade' tinggi.
Uang-uang yang sudah tidak berlaku lagi bahkan menjadi obyek penelitian para ilmuwan, terutama arkeologi. Sejarah Nusantara mengalami perjalanan panjang. Sejak ribuan tahun yang lalu, orang-orang sudah mengenal sistem barter.Â
Alat tukar atau uang primitif, biasanya terbuat dari bahan-bahan yang keras dan tahan lama seperti batu, cangkang kerang, logam, biji-bijian, kacang-kacangan, dan manik-manik.
Mata uang yang memiliki nilai khusus kemudian diperkenalkan oleh kerajaan-kerajaan kuno yang bercorak Hindu-Buddha yang pernah ada di Nusantara.Â
Umumnya mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak. Kerajaan kuno yang teridentifikasi memiliki mata uang antara lain Sriwijaya, Mataram Hindu, dan Majapahit.
Pada masa kerajaan atau kesultanan Islam, mata uang menjadi lebih bervariasi. Banyak kesultanan mengedarkan mata uang, misalnya oleh Samudera Pasai, Jambi, Riau, dan Palembang. Mungkin karena teknologi atau bahan yang tersedia, saat itu bahan timah banyak digunakan.
Pada masa kolonial, mata uang negara asing banyak digunakan di Nusantara. Koin dari Tiongkok banyak ditemukan pada situs-situs arkeologi di Indonesia. Begitu pula koin Spanyol.
Koin Nederlandsch-Indie tentu saja paling banyak diberlakukan di Nusantara. Belum lagi uang masa pendudukan Jepang selama 1942-1943.
Setelah kemerdekaan 1945, Indonesia menggunakan mata uang sendiri. Ini membuktikan bahwa Indonesia negara berdaulat.Â
Namun karena masih ada gangguan dari Belanda yang ingin menancapkan kekuasaan kembali, maka pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah daerah menerbitkan mata uang sendiri.
Mata uang tersebut disebut ORIDA (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah), dikeluarkan pada masa 1947-1949 di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. ORIDA boleh diterbitkan oleh kabupaten, kawedanaan, atau penguasa militer setempat.Â
Bahan yang digunakan masih amat sederhana seperti kertas singkong, kertas tulis, dan kertas kopi. Tercatat sekitar 500 ORIDA yang diterbitkan oleh daerah-daerah kecil di Jawa dan Sumatera.
Dibandingkan negara-negara lain, jelas ini merupakan kekayaan numismatik terbesar milik kita. Namun belum semua kekayaan tersebut sampai kepada kita. Dipastikan karena kita tidak memiliki data yang akurat.Â
Selain itu kita mungkin kurang peduli. Terbukti banyak kekayaan numismatik kita justru dimiliki oleh orang-orang mancanegara. Beruntung, sejumlah numismatis berhasil memperoleh kembali kekayaan kita itu lewat lelang daring di ebay.
Meskipun sama-sama menangani mata uang, tujuan arkeolog berbeda dengan numismatis. Di mata arkeolog, mata uang merupakan artefak bertanggal mutlak. Mata uang kuno banyak ditemukan pada beberapa situs arkeologi. Sering kali uang-uang kuno ditemukan bersama benda-benda arkeologi lain.
Banyak ciri pada mata uang bisa menjadi bahan pertanggalan atau tarikh. Arkeolog berbicara konteks dengan temuan-temuan arkeologi lain. Tidak peduli benda itu memiliki 'grade' tinggi atau rendah. Tentu berbeda dengan kebanyakan numismatis yang mempertimbangkan 'grade' tinggi.Â
Kolaborasi antara arkeolog-numismatis seharusnya bisa menghasilkan banyak cerita tentang rentetan pengetahuan, terutama tentang sejarah perekonomian, sejarah sosial, dan sebagainya.
Numismatis memang berbicara keindahan dan nilai investasi. Sekarang dibeli dengan harga satu juta rupiah. Besar kemungkinan sepuluh tahun mendatang, harga jual akan meningkat beberapa kali lipat.Â
Namun numismatis bisa memberi bantuan kepada arkeolog. Ini dimaklumi mengingat mata uang menjadi 'makanan sehari-hari' si numismatis.
Kolaborasi antara arkeolog-numismatis amat diperlukan, terutama untuk memperkaya informasi atau koleksi pada museum-museum daerah. Beberapa museum daerah atau museum provinsi memiliki salah satu ruangan yang bertema Numismatika dan Heraldika. Di sinilah peran itu bisa bermanfaat besar.
Di luar itu ada Museum Nasional yang memiliki koleksi numismatik lumayan banyak. Dalam lingkup yang lebih kecil, museum uang ada di beberapa daerah.
Setiap museum uang memiliki kekhasan. Sesungguhnya lewat gabungan museum-museum tersebut kekayaan kita yang berupa uang dapat diperkenalkan kepada dunia luar. Khasanah uang kita amat banyak, sebagaimana tercermin dari perjalanan sejarah bangsa kita.Â
Bahkan kita juga punya uang perkebunan berbahan logam dan bambu. Yang unik, kita punya uang hasil tenunan putri-putri Keraton Buton yang disebut bida atau kampua. Kekayaan inilah yang harus diperlihatkan kepada anak cucu lewat museum.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H