Kars sendiri banyak sebutannya. Masyarakat awam biasa menyebut batu gamping atau batu kapur. Dulu, kata Pak Pindi, banyak pihak masih memandang kars sebagai batu dan hanya nilai ekonomi. Padahal kars merupakan ruang budaya yang memiliki identitas dan nilai akademik.
Karena pemerintah belum paham, maka yang dipandang adalah gua bersungai atau berair. Ini ada keputusan menteri. Lain halnya dengan gua fosil, yang belum ada aturan perlindungannya.
Menurut Pak Karel dari ESDM Jambi, kawasan geopark Merangin Jambi telah ditetapkan sebagai Geopark Nasional, termasuk kawasan kars di daerah Bukit Bulan pada 2014. Sementara kawasan bentang alam bukit kars Bukit Bulan telah ditetapkan oleh Menteri ESDM pada 2018 atas usulan Gubernur Jambi.
Sayang kelestarian situs kuno Bukit Bulan terancam karena pabrik semen, apalagi izin operasional sudah keluar. Upaya perlindungan situs itu tentu tergantung Undang-undang Cagar Budaya 2010. Untuk itu berbagai pihak harus terlibat mengawasi. Kalau ini terjadi, akan seperti situs di Sulawesi Selatan yang juga mengalami konflik kepentingan dengan pabrik semen.
Banyak pertanyaan sederhana dari masyarakat awam, misalnya bagaimana menemukan situs arkeologi; tantangan terbesar para peneliti sejarah adalah mengamankan situs prasejarah ataupun sejarah dari pebisnis dan penguasa, lalu bagaimana usaha-usaha yang dilakukan BPCB Jambi untuk melestarikan situs Bukit Bulan agar bisa dinikmati generasi mendatang; apakah kars di wilayah Baturaja (Sumsel) akan diteliti; sejauh mana progres perizinan dari pabrik semen Baturaja; dan apakah cerita rakyat memiliki fungsi menjaga kawasan dan petunjuk, misalnya folklore Kuda Kencana di Desa Tualang; seberapa banyak gua kars yang diteliti di DAS Ogan.
Ada lagi pertanyaan yang cukup menarik, saya nggak paham arkeologi tetapi cukup kenal Bukit Bulan. Sekadar berbagi informasi mengenai ruang yang lebih mikro, berdasarkan kajian wilayah adat yang kami lakukan. Setelah berbagai temuan di Bukit Bulan, bagaimana upaya perlindungan terhadap kawasan atau situs tersebut, mengingat daerah tersebut cukup jauh dan sulit diakses, sehingga mungkin sulit juga dipantau oleh pihak terkait.Â
Di lain pihak sangat terbuka untuk diakses. Orang bisa datang dan berkunjung kapan saja, baik sekadar jalan-jalan maupun untuk kepentingan lain seperti mencari sarang walet, sehingga rawan aksi 'vandalisme'.
Salah satu keunggulan kegiatan daring adalah bisa melibatkan masyarakat sebanyak mungkin. Siapa tahu pihak arkeologi mendapat masukan dari mereka. Bahkan dari sekadar ikut kegiatan, bisa menimbulkan apresiasi terhadap arkeologi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H