Nama Bukit Bulan belum banyak dikenal orang. Paling mahasiswa pencinta alam atau petualang yang sesekali ke sini. Maklum lokasinya jauh dari kota. Mereka yang mau datang ke sana, harus berjalan kaki berkilo-kilo meter.
Namun nama Bukit Bulan cukup populer di kalangan arkeolog atau ahli purbakala. Di Bukit Bulan banyak terdapat gua yang menyimpan berbagai potensi kepurbakalaan. Tercatat ada 90-an gua di sana.

Bukit Bulan adalah sebuah kawasan di Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Luas wilayahnya mencapai 250 hektar dan diapit perbukitan kars. Meskipun terpencil, karena memerlukan waktu beberapa jam dari pusat kota, ada banyak pesona di sana. Â
Pesona gua itulah yang didiskusikan secara daring pada Selasa, 16 Juni 2020. Acara itu terlaksana berkat gotong royong Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Selatan, dan Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Sumatera Bagian Selatan. Sebagai pembicara Mas M. Ruly Fauzi (Balar Sumatera Selatan), Pak Pindi Setiawan (Dosen FSRD ITB), dan Pak Karel Ibu Suratno (Dinas ESDM Provinsi Jambi), dengan pemantik Mas Sigit Eko Prasetyo.
Mas Ruly selama empat tahun, yakni 2015-2019, melakukan riset arkeologi di sana. Dari survei terhadap 82 lokasi, diketahui 20 di antaranya merupakan situs hunian. Sementara pada ekskavasi 2018-2019 ditemukan 46.271 spesimen berupa tulang hewan, sisa tumbuhan, dan gambar cadas. Â Â
Salah satu situs yang cukup populer adalah Gua Mesiu. Warga sekitar percaya bahwa gua itu dulu digunakan sebagai tempat menyimpan bubuk mesiu selama zaman penjajahan Belanda. Posisinya berada di ketinggian 260 mdpl, tepat di kaki Bukit Rajo, Dusun Napal Melintang. Jaraknya sekitar 30 meter dari pinggir Sungai Ketari. Untuk itulah Gua Mesiu diekskavasi karena biasanya manusia purba bermukim di gua. Apalagi di dekatnya ada sungai.
"Analisis pertanggalan radiokarbon mengonfirmasi umur lapisan Neolitik dengan indikator tembikar di Gua Mesiu hingga 3800 tahun yang lalu. Lapisan budaya dari periode lebih tua di bawahnya menembus umur absolut 6600 tahun yang lalu," demikian Mas Ruly.
Kata Mas Ruly selanjutnya Bukit Bulan adalah hunian Neolitik yang ideal. Meskipun terisolir, Bukit Bulan menyediakan dataran lembah yang luas dengan sumber air yang konstan berkat fisiografi kawasan kars.

Pak Pindi memaparkan istilah gua basah dan gua fosil. Gua basah ada airnya atau aliran sungai kecil. Gua yang kering disebut gua fosil karena banyak ditemukan fosil purba.
Kars sendiri banyak sebutannya. Masyarakat awam biasa menyebut batu gamping atau batu kapur. Dulu, kata Pak Pindi, banyak pihak masih memandang kars sebagai batu dan hanya nilai ekonomi. Padahal kars merupakan ruang budaya yang memiliki identitas dan nilai akademik.
Karena pemerintah belum paham, maka yang dipandang adalah gua bersungai atau berair. Ini ada keputusan menteri. Lain halnya dengan gua fosil, yang belum ada aturan perlindungannya.
Menurut Pak Karel dari ESDM Jambi, kawasan geopark Merangin Jambi telah ditetapkan sebagai Geopark Nasional, termasuk kawasan kars di daerah Bukit Bulan pada 2014. Sementara kawasan bentang alam bukit kars Bukit Bulan telah ditetapkan oleh Menteri ESDM pada 2018 atas usulan Gubernur Jambi.
Sayang kelestarian situs kuno Bukit Bulan terancam karena pabrik semen, apalagi izin operasional sudah keluar. Upaya perlindungan situs itu tentu tergantung Undang-undang Cagar Budaya 2010. Untuk itu berbagai pihak harus terlibat mengawasi. Kalau ini terjadi, akan seperti situs di Sulawesi Selatan yang juga mengalami konflik kepentingan dengan pabrik semen.

Banyak pertanyaan sederhana dari masyarakat awam, misalnya bagaimana menemukan situs arkeologi; tantangan terbesar para peneliti sejarah adalah mengamankan situs prasejarah ataupun sejarah dari pebisnis dan penguasa, lalu bagaimana usaha-usaha yang dilakukan BPCB Jambi untuk melestarikan situs Bukit Bulan agar bisa dinikmati generasi mendatang; apakah kars di wilayah Baturaja (Sumsel) akan diteliti; sejauh mana progres perizinan dari pabrik semen Baturaja; dan apakah cerita rakyat memiliki fungsi menjaga kawasan dan petunjuk, misalnya folklore Kuda Kencana di Desa Tualang; seberapa banyak gua kars yang diteliti di DAS Ogan.
Ada lagi pertanyaan yang cukup menarik, saya nggak paham arkeologi tetapi cukup kenal Bukit Bulan. Sekadar berbagi informasi mengenai ruang yang lebih mikro, berdasarkan kajian wilayah adat yang kami lakukan. Setelah berbagai temuan di Bukit Bulan, bagaimana upaya perlindungan terhadap kawasan atau situs tersebut, mengingat daerah tersebut cukup jauh dan sulit diakses, sehingga mungkin sulit juga dipantau oleh pihak terkait.Â
Di lain pihak sangat terbuka untuk diakses. Orang bisa datang dan berkunjung kapan saja, baik sekadar jalan-jalan maupun untuk kepentingan lain seperti mencari sarang walet, sehingga rawan aksi 'vandalisme'.
Salah satu keunggulan kegiatan daring adalah bisa melibatkan masyarakat sebanyak mungkin. Siapa tahu pihak arkeologi mendapat masukan dari mereka. Bahkan dari sekadar ikut kegiatan, bisa menimbulkan apresiasi terhadap arkeologi.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI