Tanpa informasi, boleh dibilang koleksi ibarat barang antik di dalam gudang belaka. Hanya memuaskan hasrat si kolektor karena keindahan atau keunikan koleksi.
Tidak ada pendidikan khusus untuk menjadi kurator. Kalau modal dasar di bidang keilmuan sudah ada, tentu harus ditambah dengan pengalaman di museum. Sedikit demi sedikit pasti bisa.
Mulai 1970-an, misalnya, Museum Nasional pernah punya kurator keramik ternama, Abu Ridho. Beliau hanya kuliah sampai tingkat III Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuno Indonesia.Â
Namun kepakaran beliau tidak diragukan. Beliau sering menulis dan menghadiri seminar-seminar internasional. Sejumlah museum mancanegara pernah mengundang Pak Abu Ridho.
Menurut Pak Siswanto dan Pak Kresno Yulianto, Direktorat Jenderal Jenderal Kebudayaan pernah menyelenggarakan asesmen kurator. Dari kegiatan lalu, menurut Pak Kresno, ada beberapa peserta tidak lulus mungkin karena lebih cocok menjadi konservator atau edukator.
Masalah
Seorang peserta yang menjadi ASN mengungkapkan keinginannya mengikuti sertifikasi kurator. Namun masalahnya terbentur pada aturan harus pegawai museum.
Nah, inilah masalah besar pada ASN karena ada istilah naik golongan, naik jabatan, dan mutasi. Ada beberapa kasus, ASN yang pernah mengikuti S-2 Museologi dengan beasiswa pemerintah, setelah lulus malah dimutasi ke instansi lain.
Nasib kurator pun bisa jadi begitu. Seharusnya kurator adalah jabatan abadi atau seumur hidup. Kecuali kalau ia pensiun sebagai ASN.
Di mancanegara nama kurator justru lebih dikenal dari kepala museum. Kepala museum boleh berganti tapi kurator tetap menjadi profesi yang bergengsi.***