Di masa Covid-19 ada protokol kesehatan tentang jaga jarak dan larangan berkumpul dalam jumlah banyak. Untuk itulah berbagai kegiatan berlangsung secara daring. Para peserta yang mendaftar bisa mengikuti kegiatan dari rumah atau kantor.
Dalam rangka Pekan Pendidikan Jogja 2020, Balai Arkeologi DIY menyelenggarakan gelar wicara daring dengan tema "Mengenal Vihara dan Pesantren sebagai Tempat Pembelajaran Agama Melalui Perspektif Arkeologi". Â Acara berlangsung Jumat, 8 Mei 2020 dengan dua pembicara, Ibu Agni Mochtar dengan tema Vihara dan Bapak Masyhudi dengan tema Pesantren.
Acara gelar wicara dibuka oleh Bapak Gunadi Kasnowihardjo, sebagai koordinator peneliti di Balar DIY. Turut hadir Kepala Balar DIY Bapak Sugeng Riyanto. Menurut Pak Gunadi, gelar wicara ini merupakan rangkaian acara memperingati Hari Pendidikan Nasional.
Ibu Agni mengupas vihara berdasarkan data prasasti berbahasa Jawa Kuno abad ke-8 hingga ke-11. Total ada 21 prasasti yang memuat kata vihara atau bihara di dalamnya. Prasasti tertua yang menyinggung vihara adalah Prasasti Kalasan dari masa 778 Masehi dan yang termuda Prasasti Kelagen 1037 Masehi. Ke-21 prasasti itu tersebar dari Pekalongan hingga Sidoarjo.
Menurut Ibu Agni, dulu vihara berfungsi  sebagai tempat tinggal para bhikku atau bhiksu. Juga tempat mempelajari kitab suci dan tempat melakukan ritual agama. Pada masa kini vihara menjadi rumah ibadah Tridharma, sebagai pengganti istilah kelenteng.
Adanya vihara bisa dilihat dari panil di Candi Borobudur. Menurut Ibu Agni, vihara merupakan kompleks yang dikelilingi pagar, bangunan tempat tinggal (kayu), bangunan pendopo tempat berkumpul, dan bangunan kuil dari batu.
Vihara juga berkaitan dengan candi. Pada masa Buddha Gautama, vihara menjadi tempat tinggal. Dalam disertasinya, Candi, Fungsi dan Pengertiannya (1974), Soekmono berpendapat vihara terdiri atas kuil dan asramanya.
Vihara sebagai tempat belajar, sebagaimana dicontohkan Ibu Agni adalah Prasasti Abhayagirivihara 792 M. Dikatakan, Bhiksu yang tinggal di vihara adalah kaum terpelajar, yang selalu mengajar agama. Prasasti Kayumwungan 824 M menyebutkan pengajaran agama Buddha di dalam vihara kepada para murid oleh bhiksu.
Pada beberapa candi terdapat sisa-sisa lubang yang diduga menjadi tempat pijakan kayu. Kemungkinan di situlah sisa-sisa vihara. Penyebutan yang lebih jelas disampaikan oleh Prasasti Kalasan 778 M. Prasasti itu dihubungkan dengan pendirian Candi Kalasan dan tempat tinggal bhiksu di dekatnya. Apakah di Candi Kalasan atau Candi Sari yang letaknya berdekatan, tentu perlu penelitian lebih lanjut.
Yang menarik, Prasasti Abhayagirivihara 792 M dikaitkan dengan pendirian vihara Abhayagiri. Nama ini memiliki kesamaan dengan vihara bernama sama di Srilanka. Vihara Abhayagiri kemungkinan kompleks Ratu Baka sekarang.
Prasasti lain yang menyinggung vihara adalah Kayumwungan 824 M, yakni tentang pendirian kuil untuk arca Sri Ghananatha serta pembangunan vihara. Poerbatjaraka menafsirkan Candi Ngawen, sementara Casparis menganggap Candi Borobudur.
Di Jawa Timur penyebutan vihara terdapat dalam Prasasti Sangsang 907 M dan Prasasti Kelagen 1037 M, yakni tentang pendirian vihara di Hujunggaluh.
Menurut Ibu Agni, bisa jadi vihara berhubungan dengan fengshui atau ilmu tata letak bangunan. Fengshui dikenal di Tiongkok dan India. Pada candi sendiri dikenal astadikpalaka atau arca penjaga delapan mata angin. Sepengetahuan Ibu Agni pada dua candi, vihara terletak di bagian selatan candi. Nah, mungkin pola-pola seperti ini perlu didalami lagi.
Demikian kisah tentang Vihara, nanti kita sambung cerita tentang Pesantren yah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H