Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Koin Kerajaan-kerajaan Nusantara Ada di Museum Uang Sumatera

4 Mei 2020   08:07 Diperbarui: 4 Mei 2020   13:46 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koin emas Kesultanan Makassar (Foto: Museum Uang Sumatera)

Kalau di Jakarta ada Museum Bank Indonesia (MBI), di Medan ada Museum Uang Sumatera (MUS). Keduanya sama-sama memamerkan uang-uang lama atau kuno yang pernah beredar di Nusantara. Yang membedakan hanya pemilik museum. MBI milik pemerintah, sementara MUS milik swasta.

MUS menempati Gedung Juang 45 Sumatera Utara, Jalan Pemuda No. 17. Daerahnya dikenal sebagai Medan Maimun. MUS buka setiap hari pukul 09.00-17.00. Seperti halnya di banyak daerah, pada masa pandemi Covid-19 ini museum ditutup. Tujuannya tentu untuk memutus persebaran virus korona.

Koin Kerajaan Batubara 1158 H atau 1745 M (Foto: MUS)
Koin Kerajaan Batubara 1158 H atau 1745 M (Foto: MUS)
Uang kerajaan/kesultanan

MUS masih berusia muda karena didirikan bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2017. Jadi masih balita karena baru berulang tahun ke-3 dua hari lalu.   

MUS memamerkan uang yang pernah digunakan masyarakat pada era revolusi fisik di Sumatera Utara. Revolusi fisik terjadi pada 1947-1949 karena agresi militer Belanda I dan II. Ketika itu hubungan pusat dengan daerah terputus. Maka daerah-daerah di Jawa dan Sumatera diperkenankan oleh pusat untuk mencetak uang sendiri. Pada masa itu uang-uang tersebut disebut ORIDA (ORI Daerah). ORI sendiri singkatan dari Oeang Repoeblik Indonesia. Khusus di Sumatera disebut ORIPS atau URIPS (dengan ejaan baru), singkatan dari Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera.

Kalau ORIDA dan URIPS berbahan kertas, MUS memiliki koleksi uang logam (koin) dari sejumlah kerajaan/kesultanan yang pernah ada di Nusantara. Koleksi koin kerajaan di MUS boleh dibilang terlengkap di Indonesia. Di sini, misalnya, ada koleksi koin dari Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, dari masa klasik atau Hindu-Buddha, sebagaimana babakan sejarah dalam arkeologi. Ada juga dari periode Islam, seperti Kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Jambi, Riau-Lingga, Palembang, Deli, Batubara, Demak, Cirebon, Banten, Makassar, Gowa, Buton, Banjarmasin, Tidung, dan Pontianak. 

Dalam foto tampak koin emas Kesultanan Makassar, era Sultan Muhammad Said dari masa 1639-1653 Masehi. Nominalnya ¼ Dinar. Kesultanan Makassar merupakan kesultanan Islam di Sulawesi bagian Selatan. Pada mulanya berupa kerajaan-kerajaan kecil yang saling bertikai. Kemudian daerah ini dipersatukan oleh Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo menjadi Kesultanan Makassar.

Foto lain berupa koin Kerajaan Batubara 1158 H atau 1745 M. Pada koin terdapat tulisan Arab Melayu. Kerajaan Batubara di mana yah? Kalau sekarang masih dikenal marga Batubara, bisa jadi mereka masih ada hubungan dengan kerajaan itu.

Yang menarik, ada sejumlah koleksi berasal dari beberapa kerajaan di kawasan ASEAN, yakni Kerajaan Malaka, Kelantan, Johor, Perak, Pahang, Kedah, Patani, Sarawak, Trengganu, Brunei, dan Siam.

Mesin cetak ORIDA Tapanuli (Foto: MUS)
Mesin cetak ORIDA Tapanuli (Foto: MUS)
Mesin cetak uang

Di MUS dipamerkan juga mesin cetak uang, sebagaimana dikemukakan pendiri MUS, Bapak Saparudin Barus. Mesin cetak yang ada di sini pernah digunakan untuk mencetak ORIDA Tapanuli. Pak Barus ini seorang militer dan kolektor, jadi sering bertugas ke berbagai daerah sekaligus mencari koleksi yang belum ada.

Uang perkebunan banyak juga di museum ini. Token, demikianlah nama lain uang perkebunan, dulu pernah dipakai secara lokal di wilayah Sumatera Utara. Perkebunan Deli pernah dikenal dalam sejarah. Karena itulah maskot museum ini disebut Kak Orips (singkatan ORI Provinsi Sumatera) dan Bang Tobun (singkatan Token Perkebunan).

Menurut Pak Barus, banyak mahasiswa datang ke MUS untuk melakukan penelitian dan membuat skripsi. Memang uang merupakan ladang penelitian untuk menyusun sejarah ekonomi sekaligus sejarah politik pada masa dulu.

Para pelajar sedang mengamati koleksi uang (Foto: MUS)
Para pelajar sedang mengamati koleksi uang (Foto: MUS)
Menghidupkan wisata

Kalau saja tidak ditutup karena pandemi, MUS ramai didatangi pengunjung. Dengan demikian menghidupkan geliat wisata di Medan dan sekitarnya. Rombongan pelajar, pramuka, dan mahasiswa sering ke sini. Begitu pula wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara.

Tadinya Gedung Juang 45, salah satu bangunan cagar budaya Kota Medan yang menjadi saksi perjuangan Indonesia melawan penjajahan,  sempat terbengkalai dan penuh debu. Namun sejak MUS menempati lantai 2, gedung ini sudah bagus dan kembali terawat.  

MUS bukan hanya memamerkan uang kertas ORIPS, koin kerajaan/kesultanan, dan masin cetak, tapi juga uang masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Uang unik yang berasal dari berbagai daerah di Sumatera, antrara lain uang Siantar, Karo, Tapanuli, Rantau Prapat, Labuhan Batu, dan banyak lagi.

Banyak uang kertas itu terlihat sangat unik karena menggunakan bahan yang amat sederhana seperti kertas tulis dan kertas singkong. Keunikan lain, ditulis menggunakan mesin tik dengan stempel pemerintah setempat seperti wedana, bupati, atau penguasa militer. Juga ada bon kontan dan kupon penukaran sebagai pengganti uang.  

Kalau sekolah atau kampus merupakan lembaga pendidikan formal, MUS menjadi tempat pendidikan nonformal. Sebagai museum swasta, tentu saja MUS memerlukan biaya perawatan. Saat ini MUS mengenakan tarif masuk Rp 10.000. Namun para pengunjung akan mendapatkan cenderamata koin kuno. Mari kita belajar, melihat sejarah, melestarikan warisan leluhur, sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan lewat museum.***

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun