Di Indonesia, dari Sumatera hingga Papua, ditemukan banyak gua kuno yang mengindikasikan pernah dihuni atau tempat aktivitas manusia purba. Kurang dari setengahnya merupakan gua yang memiliki lukisan. Secara populer disebut lukisan gua atau gambar cadas, yang bahasa internasionalnya rock art.
Adanya gambar cadas menjadi bukti kehadiran manusia pada masa prasejarah. Masa prasejarah berlangsung amat panjang, yakni sebelum manusia mengenal tulisan. Tulisan sendiri mulai dikenal pada abad ke-5 Masehi, sejak temuan prasasti yupa dari Kalimantan Timur.
Temuan gambar cadas tertua di dunia diperkirakan berumur 44.000 tahun, berasal dari Maros, Pangkep (Sulawesi Selatan), tepatnya Gua Leang Bulu' Sipong 4. Di gua itu tim arkeologi Indonesia yang berkolaborasi dengan Griffith University Australia menemukan gambar unik berupa figur pemburu dalam bentuk therianthropes sedang menangkap enam mamalia yang melarikan diri, yakni dua ekor babi rusa dan empat ekor anoa. Boleh dibilang therianthropes merupakan makhluk setengah manusia setengah hewan. Begitulah cerita Adhi Agus Oktaviana, arkeolog muda dari Pusat Penelitian Arkeologi Indonesia yang sering meneliti gambar cadas.
Ceruk dan tebing
Selain pada gua, tinggalan manusia purba terdapat pada ceruk dan tebing. Pada gua, lukisan prasejarah terdapat pada dinding dan langit-langit gua. Gambar-gambar tersebut terdeposit bersama dengan benda-benda lain seperti wadah dan sampah dapur di permukaan dan pelataran gua. Inilah yang menunjukkan masyarakat sudah menetap pada tempat tersebut. Berarti mereka tidak hidup berpindah-pindah lagi.
"Lukisan therianthropes itu merepresentasikan bukti tertua tentang kapasitas otak manusia untuk memahami hal-hal yang berada di luar nalar sebagai bentuk konsep dasar keberadaan agama modern," demikian Prof. Brumm dari Griffith University.
Umur therianthropes di Sulawesi ditafsirkan lebih tua daripada manusia singa yang ditemukan di Jerman. Kalau therianthropes berumur 44.000 tahun, manusia singa berumur 40.000 tahun.
Kerusakan
Survei seni cadas yang dilakukan Adhi Agus Oktaviana bersama Prof. Brumm dan Prof. Aubert dari Australia telah menyingkap banyak situs baru. Banyak lukisan tergolong spektakuler namun belum diteliti lebih lanjut. Tentu menunggu gelontoran dana dari pemerintah kita. Akan ironis kalau kita cuma menunggu bantuan dari Australia atau pemerintah negara lain.
Pada survei lalu saja banyak lukisan prasejarah mengalami kerusakan, dari kecil hingga besar. Menurut Pak Rustan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, banyak lukisan gua mengalami pengelupasan sehingga akan membahayakan tinggalan-tinggalan purba tersebut. Jelas akan menjadi tragedi yang luar biasa bila karya seni purba itu hilang dalam kehidupan.
Kondisi lukisan purba tersebut memburuk karena kondisi iklim. Zaman dulu sewaktu dibuat, kondisi iklim masih bersahabat. Namun dengan adanya pemanasan global, iklim sering berubah-ubah.
Pada kesempatan itu Pak Rustan mengatakan, "Puluhan ribu tahun yang lalu nenek moyang manusia menitipkan pengetahuannya bagi orang yang berdedikasi melahirkan pengetahuan baru untuk kita, lalu kita telah berbuat apa untuk mewariskannya bagi orang-orang berdedikasi berikutnya?"
"Ada nilai-nilai peradaban pada gambar-gambar cadas yang berperan dalam proteksi kawasan karst yang kaya sebagai tandon air dan daur hidrologi. Kemudian nilai-nilai peradaban untuk pembangunan berkelanjutan," kata Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Pak I Made Geria.
Pelestarian
Soal pelestarian kawasan karst itu mendapat perhatian dari sebuah perusahaan semen di sana. Saat ini sekitar 3,5 hektar sudah terlindungi. Sekarang yang menjadi masalah tentu gua tersebut akan menjadi 'nilai penting' dari segi ekonomi (pariwisata) atau budaya (pelestarian). Apakah pengunjung akan sengaja mengunjungi gua purba atau cukup melihat ruang pameran yang dilengkapi gambar digital?
Saya pernah membaca tulisan tentang gua purba di Meksiko yang rusak karena padatnya pengunjung. Udara dari tubuh manusia tentu lama kelamaan akan merusak lukisan. Belum lagi vandalisme pengunjung. Nah, faktor ini harus menjadi perhatian. Pemasukan dari pariwisata jelas penting. Namun memelihara karya nenek moyang yang tidak mungkin dicipta ulang itu, jauh lebih penting.
Pak Budianto Hakim, peneliti dari Balai Arkeologi Sulawesi Selatan mengharapkan temuan yang sudah mendunia itu harus dikemas dengan baik. "Pemerintah Perancis butuh waktu bertahun-tahun untuk mengemas gua prasejarah sehingga dikenal secara internasional," katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H