Pada kesempatan itu Pak Rustan mengatakan, "Puluhan ribu tahun yang lalu nenek moyang manusia menitipkan pengetahuannya bagi orang yang berdedikasi melahirkan pengetahuan baru untuk kita, lalu kita telah berbuat apa untuk mewariskannya bagi orang-orang berdedikasi berikutnya?"
"Ada nilai-nilai peradaban pada gambar-gambar cadas yang berperan dalam proteksi kawasan karst yang kaya sebagai tandon air dan daur hidrologi. Kemudian nilai-nilai peradaban untuk pembangunan berkelanjutan," kata Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Pak I Made Geria.
Pelestarian
Soal pelestarian kawasan karst itu mendapat perhatian dari sebuah perusahaan semen di sana. Saat ini sekitar 3,5 hektar sudah terlindungi. Sekarang yang menjadi masalah tentu gua tersebut akan menjadi 'nilai penting' dari segi ekonomi (pariwisata) atau budaya (pelestarian). Apakah pengunjung akan sengaja mengunjungi gua purba atau cukup melihat ruang pameran yang dilengkapi gambar digital?
Saya pernah membaca tulisan tentang gua purba di Meksiko yang rusak karena padatnya pengunjung. Udara dari tubuh manusia tentu lama kelamaan akan merusak lukisan. Belum lagi vandalisme pengunjung. Nah, faktor ini harus menjadi perhatian. Pemasukan dari pariwisata jelas penting. Namun memelihara karya nenek moyang yang tidak mungkin dicipta ulang itu, jauh lebih penting.
Pak Budianto Hakim, peneliti dari Balai Arkeologi Sulawesi Selatan mengharapkan temuan yang sudah mendunia itu harus dikemas dengan baik. "Pemerintah Perancis butuh waktu bertahun-tahun untuk mengemas gua prasejarah sehingga dikenal secara internasional," katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H