Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Warisan Literasi Bapak Prasejarah Indonesia Itu Harus Diselamatkan

11 September 2019   22:30 Diperbarui: 17 September 2019   20:31 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rabu pagi, 11 September 2019 saya berkunjung ke Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Kebetulan hari itu rapat IAAI Komda Jabodetabek berlangsung di sana. IAAI merupakan nama populer sejak 1976.  Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, begitulah singkatan ketika itu.

Di lantai 2 saya lihat ada seseorang sedang beres-beres buku. Saya mengenal betul ruang itu pernah ditempati Pak Jono. Dalam dunia akademis beliau dikenal sebagai Prof. Dr. R.P. Soejono. 

Pak Jono menjadi Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pertama, sekaligus pendiri IAAI. Beliau lahir pada 27 November 1926 di Mojokerto dan meninggal pada 16 Mei 2011 di Jakarta.

Mas Ugrasena atau Mas Uki sedang membenahi buku-buku Pak Jono. Sebagian akan disumbangkan untuk Perpustakaan Puslit Arkenas. Sebagian lagi untuk sementara dibawa ke rumah beliau. Buku-buku Pak Jono terbilang luar biasa banyak. Semoga saja tidak jauh ke tukang loak.

Mas Uki sedang membenahi buku-buku ayahnya (Dokpri)
Mas Uki sedang membenahi buku-buku ayahnya (Dokpri)
"Ini semua disertasi," kata Mas Uki. Ada banyak buku-buku tebal dalam rak buku kayu itu. Dulu Pak Jono dikenal sebagai ahli prasejarah. Karena keahliannya terbilang langka, beliau banyak membimbing sarjana dari Indonesia dan luar Indonesia.

"Bangunan ini akan dibongkar. Maklum sudah tua," begitu kata Mas Uki. Sepengetahuan saya memang Gedung Puslit Arkenas berdiri pada 1983. Saya pernah meliput upacara peresmiannya untuk buletin mahasiswa Romantika Arkeologia. 

Waktu itu yang meresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Pak Daoed Joesoef.  Sebelumnya Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional, yang kemudian pecah dua menjadi Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional serta Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, berkantor di Jalan Cilacap Nomor 4. Sekarang kantornya sudah berganti hotel.

Di samping buku dan publikasi lain, Mas Uki memperlihatkan banyak foto lama. Tentu saja masih hitam putih. Beberapa orang masih bisa saya kenali seperti Pak Hasan Ambary, Ibu Satyawati Suleiman, Ibu Sujatmi Satari, dan Ibu Hendari Sofion. Ada juga Pak Boechari, Pak Casparis, dan Pak Uka Tjandrasasmita.

Jajaran buku yang sudah dikemas untuk dipindahkan (Dokpri)
Jajaran buku yang sudah dikemas untuk dipindahkan (Dokpri)
Kenangan
Pak Jono dikenal sebagai pelopor dan arkeolog yang dikenal luas di dalam negeri dan luar negeri. Beliau mendalami ilmu prasejarah. Karena itu beliau dianggap Bapak Prasejarah Indonesia. Ketika melakukan kegiatan tiga tahunan, Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Pak Jono selalu mengundang arkeolog-arkeolog dari ASEAN.

Beliau begitu perhatian pada sahabatnya, karena menurutnya menjadi arkeolog tidak mungkin kaya.  Untuk itu beliau pernah mendirikan Jajasan Purbakala.

Tujuannya untuk kesejahteraan para arkeolog. Belum lama saya pernah tanya ke Pak Dirman Surachmat apa saja aktivitas Jajasan Purbakala. "Yang saya ingat pernah menyewakan rumah untuk Pak Teguh Asmar di kompleks Kehakiman, daerah Utan Kayu sekarang," kata Pak Dirman. 

Daya ingat arkeolog kelahiran 1940 itu masih oke loh. "Yang tahu banyak Bintarti," kata Pak Dirman. Sayang Bu Bintarti sudah meninggal beberapa waktu lalu. Diperkirakan aset Jajasan Purbakala, ataupun nama penggantinya, masih ada. Entah bagaimana melacaknya.

Deretan disertasi di bawah bimbingan Pak Jono (Dokpri)
Deretan disertasi di bawah bimbingan Pak Jono (Dokpri)
Gedung arkeologi
Pak Jono selalu memperhatikan dunia arkeologi. Sekitar 1982 saya pernah dipanggil ke kantor beliau di Jalan Cilacap. "Buletin Romantika Arkeologia itu sebenarnya bagus. 

Cuma kalau membaca mata saya suka sakit. Apa sih kekurangan kalian," begitu kata Pak Jono kepada saya Berthold, Djarot, dan entah siapa lagi. 

Akhirnya untuk penerbitan buletin Romantika Arkeologia selanjutnya, kami mendapat bantuan kertas duplikator, stencil sheet, tinta, dan correcting fluid. Ketika sudah pindah ke Jalan Condet Pejaten, bantuan dari Pak Jono tetap berjalan.

Melihat teman-temannya berdesak-desakan ketika mengajar dan berkomunikasi dengan mahasiswa, di kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Pak Jono membantu pembangunan Gedung Arkeologi. Sayang gedung itu cuma dipakai pada 1983-1987 karena kemudian kampus UI pindah ke Depok.

Pak Jono mendapat gelar doktor pada 1977 dan dikukuhkan sebagai guru besar pada 2005. Saya berharap warisan Pak Jono menular kepada arkeolog-arkeolog masa kini. Literasi secara fisik masih tetap diperlukan, meskipun sudah marak literasi digital.

Kepeduliannya patut dicontoh. Keintelektualannya pantas ditiru. Literasi tidak hanya tergantung pada publikasi baru. Publikasi lama tetap menjadi bahan perbandingan. Warisan literasi itu harus selamat untuk diturunkan kepada generasi penerus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun