Daya ingat arkeolog kelahiran 1940 itu masih oke loh. "Yang tahu banyak Bintarti," kata Pak Dirman. Sayang Bu Bintarti sudah meninggal beberapa waktu lalu. Diperkirakan aset Jajasan Purbakala, ataupun nama penggantinya, masih ada. Entah bagaimana melacaknya.
Pak Jono selalu memperhatikan dunia arkeologi. Sekitar 1982 saya pernah dipanggil ke kantor beliau di Jalan Cilacap. "Buletin Romantika Arkeologia itu sebenarnya bagus.Â
Cuma kalau membaca mata saya suka sakit. Apa sih kekurangan kalian," begitu kata Pak Jono kepada saya Berthold, Djarot, dan entah siapa lagi.Â
Akhirnya untuk penerbitan buletin Romantika Arkeologia selanjutnya, kami mendapat bantuan kertas duplikator, stencil sheet, tinta, dan correcting fluid. Ketika sudah pindah ke Jalan Condet Pejaten, bantuan dari Pak Jono tetap berjalan.
Melihat teman-temannya berdesak-desakan ketika mengajar dan berkomunikasi dengan mahasiswa, di kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Pak Jono membantu pembangunan Gedung Arkeologi. Sayang gedung itu cuma dipakai pada 1983-1987 karena kemudian kampus UI pindah ke Depok.
Pak Jono mendapat gelar doktor pada 1977 dan dikukuhkan sebagai guru besar pada 2005. Saya berharap warisan Pak Jono menular kepada arkeolog-arkeolog masa kini. Literasi secara fisik masih tetap diperlukan, meskipun sudah marak literasi digital.
Kepeduliannya patut dicontoh. Keintelektualannya pantas ditiru. Literasi tidak hanya tergantung pada publikasi baru. Publikasi lama tetap menjadi bahan perbandingan. Warisan literasi itu harus selamat untuk diturunkan kepada generasi penerus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H