Ketika duduk di Sekolah Dasar, saya gemar membaca. Hobi ini terus berlanjut hingga saya duduk di bangku SMP. Kebetulan ketika itu orang tua saya berlangganan beberapa koran dan majalah. Tulisan-tulisan yang saya anggap menarik, kemudian saya gunting dan tempel pada selembar kertas.
Itulah yang disebut kliping. Kliping boleh dibilang dokumentasi dalam bentuk sederhana. Tentu tidak semua tulisan pada media cetak kita kliping. Harus dipilah berdasarkan minat kita.Â
Sewaktu saya kuliah di Jurusan Arkeologi, saya tetap membuat kliping. Tema yang saya pilih tentu saja arkeologi, seperti candi, penemuan, pencurian, keramik, dan arkeologi bawah air. Ada juga tentang museum, sejarah, dan beberapa tema lain.
Oh ya, ada juga bahan kliping yang saya temukan secara tidak sengaja. Dulu barang-barang belanjaan hampir selalu dibungkus kertas koran atau majalah. Nah, beberapa topik sesekali saya temukan dari kertas pembungkus itu.
Saya mulai membuat kliping pada 1970-an. Waktu itu asal tempel pada kertas. Kadang saya memakai kertas buram, kadang kertas duplikator. Kertas demikian rupanya kurang bagus.Â
Setelah beberapa tahun timbul bercak-bercak coklat. Kekurangan saya waktu itu, saya tidak mencantumkan koran apa, tanggal berapa, dan sebagainya. Banyak tulisan saya pada koran dan majalah juga saya kliping.Â
Pada 1990-an saya tetap membuat kliping. Malah kertasnya lebih bagus. Saya gunakan kertas duplikator, lalu saya bawa ke percetakan untuk membuat kop lengkap dengan data kliping.
Membuat kliping ternyata harus sabar. Kalau ukuran guntingan lebih kecil dari kertas, cukup mudah menempelkannya. Tapi kalau lebih besar dari kertas, nah kita perlu ilmu menyusun tata letak. Kadang kita perlu dua-tiga lembar kertas. Iya karena tulisan atau artikelnya panjang.
Dulu saya beberapa kali ke berbagai perpustakaan umum, seperti Yayasan Idayu dan Perpustakaan Umum DKI Jakarta. Jadi yah tiru-tiru dikit cara membuat kliping.
Terus terang, sejak media cetak kalah bersaing dengan media internet, saya sempat vakum membuat kliping. Karena saya memiliki blog pribadi tentang arkeologi dan museum, kalau kebetulan nemu tulisan sesuai topik, saya copy paste. Lalu saya masukkan ke dalam blog pribadi saya, tentu saya selalu menyebutkan sumber tulisan.
Kliping-kliping yang sudah saya susun sesuai tema atau topik, saya masukkan ke dalam ordner. Hingga beberapa tahun puluhan kliping ini teronggok di gudang. Maklum rumah saya tidak besar. Hanya sekali-sekali saja saya tengok dan bersihkan dari debu.
Di dalam kontener saya sertakan bubuk kopi, lada, dan cengkeh yang masing-masing saya bungkus terpisah. Katanya sih untuk menjauhkan koleksi dari serangga. Yah saya coba saja.
Sebagai penulis, tentu saja kliping memiliki banyak manfaat. Sebagai sumber gagasan, itu salah satunya. Membuat kliping termasuk gerakan literasi. Di era digitalisasi, rasanya sudah tidak banyak lagi orang yang berminat pada kliping. Perlu tempat yang besar, mungkin menjadi alasan utama.
Sebenarnya saya ingin mendigitalkan kliping-kliping saya itu. Dengan demikian masyarakat umum bisa menggunakan sumber informasi tersebut. Sayang saya belum ada waktu. Seharusnya ini tugas pemerintah, bukan tugas pribadi. Tapi saya pikir tak apalah berdedikasi untuk masyarakat dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H