Pada 1980-an Nia Kurnia Sholihat beberapa kali menulis masalah Sriwijaya di koran sore Sinar Harapan. Pada 1983 ia menerbitkan buku Sriwijaya, yang merupakan perluasan dari tesisnya  sewaktu menempuh sidang sarjana pada Jurusan Sejarah, IKIP Bandung, 1980.Â
Sebenarnya beberapa tulisannya di koran mendapat kritikan dari Pak Soekmono dan Pak Boechari, dua arkeolog yang banyak meneliti Sriwijaya. Namun kelemahan keduanya, mereka tidak mampu menulis secara populer. Â
Padahal keduanya sudah sering menyajikan makalah dalam berbagai forum nasional dan internasional.
Untunglah kemudian Pak Ayatrohaedi menulis resensi buku tersebut. Sebagai arkeolog tentu saja Mang Ayat---begitu sebutan akrabnya---tahu banyak tentang Sriwijaya. Ia yang menyelamatkan muka arkeologi.
Sampai sekarang kelemahan para arkeolog adalah menulis populer. Padahal menulis populer diperlukan untuk menangkal sebuah masalah atau keperluan lain yang berhubungan dengan publik. Tulisan populer lebih mudah dimengerti masyarakat awam, daripada tulisan ilmiah yang kadang penuh istilah teknis.
Memang tidak semua arkeolog mampu menulis populer. Taruhlah ada beberapa orang. Itu saja sudah cukup. Di dunia arkeologi sendiri boleh dibilang ada beberapa 'golongan'.
Pertama, pekerja arkeologi (silakan dengan istilah lain). Mereka adalah pegawai di instansi arkeologi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kedua, pendamping arkeologi, yakni lulusan arkeologi yang bekerja di instansi pemerintah lain, Â seperti Dinas Kebudayaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Pariwisata. Golongan pertama dan kedua mendapat gaji dan tunjangan lain, termasuk pensiun.
Ketiga, pembantu arkeologi atau kalau boleh disebut arkeolog swasta. Mereka membantu pekerjaan arkeologi seperti menjadi rekanan lelang/pekerjaan, narasumber, dan tim ahli.Â
Karena merupakan penugasan atau proyek, tentu saja ada honorariumnya. Pembantu arkeologi terdiri atas pensiunan atau arkeolog yang bukan pegawai instansi arkeologi.