Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Arkeolog Harus Mampu Menulis Populer untuk Menangkal Ilmu Cocoklogi

1 September 2019   16:12 Diperbarui: 1 September 2019   19:40 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua remaja yang sedang memperhatikan replika prasasti Kedukan Bukit yang menjadi salah satu koleksi peninggalan sejarah masa Kerajaan Sriwijaya di TPKS Palembang, Kelurahan Karang Anyar Kecamatan Gandus Palembang, Selasa (3/5/2016) - (Foto: WELLY HADINAT/SRIPOKU.COM-tribunnews.com)

Nama Sriwijaya mencuat setelah Babe Ridwan Saidi mengatakan nama itu hanyalah dongeng belaka alias fiktif. Bahkan dikatakan bajak laut dari Koromandel. 

Sontak pendapat tersebut menuai reaksi, terutama dari para sejarawan dan arkeolog. Tidak heran Babe Ridwan 'mendapat panggung' di berbagai media.

Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (Foto: http://palembanghistory.blogspot.com/)
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (Foto: http://palembanghistory.blogspot.com/)
Nama Sriwijaya sendiri mulai dikenal pada 1918. George Coedes merupakan orang pertama yang menyebut Sriwijaya sebagai kerajaan. Sebelumnya pada 1913 H. Kern menerbitkan Prasasti Kota Kapur yang bertarikh 686. 

Ia menganggap Sriwijaya nama seorang raja. Sejak itulah Sriwijaya dibicarakan banyak pakar dari sejumlah negara. Banyak sumber sejarah pun telah memperkaya tafsiran akan Sriwijaya. 

Selain prasasti, sumber lain adalah Berita Tiongkok dan Berita Arab. Data lain berupa temuan-temuan arkeologi di Palembang dan sekitarnya.

Situs Bukit Siguntang (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Situs Bukit Siguntang (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Kontroversial

Pada 1960 Slamet Muljana mengeluarkan sebuah buku berjudul Sriwijaya. Buku karyanya itu diterbitkan ulang oleh LKiS pada 2006. Kajian Muljana berdasarkan pendekatan filologis. Ia menggunakan sumber-sumber asing yang kadang terlalu singkat dan kabur. Juga disangsikan kebenarannya karena bukan berasal dari tangan pertama. 

"Bagaimanapun, harus diakui bahwa ilmu sejarah Sriwijaya adalah penemuan Coedes dan lahir dari kecerdasannya dalam menggunakan hasil penyelidikan sarjana-sarjana lainnya," demikian Muljana.

Dalam bukunya itu Muljana membahas sembilan topik, yakni Ikhtisar penulisan sejarah Sriwijaya, Pendidikan I-ts'ing, Lokalisasi tempat-tempat dalam perjalanan I-ts'ing, Pusat kerajaan Sriwijaya, Sriwijaya dan semenanjung, Rajakula Sailendra di Jawa Tengah, Sriwijaya di bawah kekuasaan Rajakula Sailendra, Kerajaan San-fo-ts'i, dan Runtuhnya kerajaan Sriwijaya.

Meskipun Muljana (1929-1986) merupakan Doktor Sejarah dan Filologi dari Belgia (1954), namun ada pendapatnya yang dipandang kontroversial. Misalnya tentang Rakai Panangkaran sebagai anggota keluarga Syailendra yang telah mengalahkan keturunan Sanjaya. Sebaliknya pendapat umum mengatakan Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang menjadi bawahan Syailendra.  

Buku Sriwijaya karya Slamet Muljana (Dokpri)
Buku Sriwijaya karya Slamet Muljana (Dokpri)
Populer

Pada 1980-an Nia Kurnia Sholihat beberapa kali menulis masalah Sriwijaya di koran sore Sinar Harapan. Pada 1983 ia menerbitkan buku Sriwijaya, yang merupakan perluasan dari tesisnya  sewaktu menempuh sidang sarjana pada Jurusan Sejarah, IKIP Bandung, 1980. 

Sebenarnya beberapa tulisannya di koran mendapat kritikan dari Pak Soekmono dan Pak Boechari, dua arkeolog yang banyak meneliti Sriwijaya. Namun kelemahan keduanya, mereka tidak mampu menulis secara populer.  

Padahal keduanya sudah sering menyajikan makalah dalam berbagai forum nasional dan internasional.

Untunglah kemudian Pak Ayatrohaedi menulis resensi buku tersebut. Sebagai arkeolog tentu saja Mang Ayat---begitu sebutan akrabnya---tahu banyak tentang Sriwijaya. Ia yang menyelamatkan muka arkeologi.

Buku Sriwijaya karya Nia Kurnia Sholihat (Dokpri)
Buku Sriwijaya karya Nia Kurnia Sholihat (Dokpri)
Kelemahan

Sampai sekarang kelemahan para arkeolog adalah menulis populer. Padahal menulis populer diperlukan untuk menangkal sebuah masalah atau keperluan lain yang berhubungan dengan publik. Tulisan populer lebih mudah dimengerti masyarakat awam, daripada tulisan ilmiah yang kadang penuh istilah teknis.

Memang tidak semua arkeolog mampu menulis populer. Taruhlah ada beberapa orang. Itu saja sudah cukup. Di dunia arkeologi sendiri boleh dibilang ada beberapa 'golongan'.

Pertama, pekerja arkeologi (silakan dengan istilah lain). Mereka adalah pegawai di instansi arkeologi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kedua, pendamping arkeologi, yakni lulusan arkeologi yang bekerja di instansi pemerintah lain,  seperti Dinas Kebudayaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Pariwisata. Golongan pertama dan kedua mendapat gaji dan tunjangan lain, termasuk pensiun.

Ketiga, pembantu arkeologi atau kalau boleh disebut arkeolog swasta. Mereka membantu pekerjaan arkeologi seperti menjadi rekanan lelang/pekerjaan, narasumber, dan tim ahli. 

Karena merupakan penugasan atau proyek, tentu saja ada honorariumnya. Pembantu arkeologi terdiri atas pensiunan atau arkeolog yang bukan pegawai instansi arkeologi.

Keempat, pewarta arkeologi. Jurnalis dan guru sejarah mungkin boleh kita sebut demikian. Peran mereka cukup besar loh.

Kelima, pejuang arkeologi. Saya lihat sudah ada beberapa individu dan komunitas yang benar-benar bekerja dengan 'pikiran dan hati' demi arkeologi. Mereka rela mengeluarkan tenaga, waktu, dan dana pribadi. Masyarakat sudah hadir, seharusnya pemerintah juga hadir.

Keenam, penyokong arkeologi. Beberapa arkeolog yang sukses dalam finansial bisa menjadi penyokong dana dan sebagainya. Kalau duduk di komunitas, bisa sebagai dewan penyantun, misalnya.

Ketujuh, pemerhati arkeologi. Mereka umumnya berprofesi sebagai wiraswasta. Kepedulian mereka amat kita harapkan juga demi arkeologi.

Sekali lagi, kemampuan menulis populer yang dilakukan oleh kalangan sendiri amat penting. Tiap instansi memiliki masalah sendiri, terutama yang berhubungan dengan masyarakat. Misalnya tentang pencurian, penggalian liar, pembongkaran bangunan bersejarah, penemuan benda kuno di tengah sawah, dan penyelundupan barang antik.

Jadi arkeolog harus mampu menulis populer untuk memberantas 'arkeologi semu' yang semakin tumbuh di masyarakat, terutama dengan ilmu utak atik gatuk atau cocoklogi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun