Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yayasan Idayu (1966-2006) Pernah Menerbitkan Buku Bacaan "Kelas Berat"

27 Agustus 2019   13:30 Diperbarui: 28 Agustus 2019   15:43 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Brosur Yayasan Idayu (Dokpri)

Ketika sedang beberes buku-buku lama, saya menemukan beberapa buku terbitan Yayasan Idayu. Saya teringat yayasan ini karena pada 1980-an pernah beberapa kali ke Perpustakaan Idayu di Jalan Abdurrahman Saleh nomor 26. Dulu Yayasan Idayu berkantor di sana, tepatnya di Gedung Kebangkitan Nasional. Di sebelah RSPAD Gatot Subroto sekarang.

Gedung Kebangkitan Nasional kemudian berubah menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Di mata masyarakat awam dikenal juga sebagai Gedung STOVIA, yakni Sekolah Dokter Jawa zaman penjajahan.

Untung saya masih menyimpan brosur Yayasan Idayu. Dikatakan Yayasan Idayu bersifat nonkomersial dan bertujuan membantu pemerintah dalam rangka pembinaan bangsa dan pembentukan watak khususnya di bidang pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Dari brosur diketahui Yayasan Idayu didirikan pada 28 Oktober 1966 oleh Masagung, Adisuria, dan Ny. Mualliff Nasution.

Para pendiri/pengurus pertama Yayasan Idayu sesuai rapat di Jl. Kwitang No. 13 Jakarta, 18 Oktober 1966. Dari kiri kekanan: Mohamad Said Reksohadiprodjo, Prof. Dr. Sumantri Hardjo Prakoso, Arifin Temyang, Ny. Mualliff Nasution, Adisuria (jongkok), Masagung, Ny. Rochmulyati Hamzah, Soemarmo, Abdul Bar Salim, Drs. ODP. Sihombing, Soeprijanto, dan Diarto (Foto: tokogunungagung.com)
Para pendiri/pengurus pertama Yayasan Idayu sesuai rapat di Jl. Kwitang No. 13 Jakarta, 18 Oktober 1966. Dari kiri kekanan: Mohamad Said Reksohadiprodjo, Prof. Dr. Sumantri Hardjo Prakoso, Arifin Temyang, Ny. Mualliff Nasution, Adisuria (jongkok), Masagung, Ny. Rochmulyati Hamzah, Soemarmo, Abdul Bar Salim, Drs. ODP. Sihombing, Soeprijanto, dan Diarto (Foto: tokogunungagung.com)
Akrab dengan Bung Karno
Masagung akrab dengan Bung Karno. Maka nama ibunda Bung Karno, Idayu, dipakai sebagai nama yayasan. Tentu atas izin beliau. Dalam nama itu terkandung makna 'ibu' yang pada hakikatnya merupakan 'Pemimpin Pertama' bagi putranya dalam memulai hidup di dunia.

Mula-mula Yayasan Idayu menempati gedung di Jalan Kwitang 13, Jakarta Pusat. Namun karena kemudian ruangan-ruangan tidak mencukupi, sejak Januari 1974 Gubernur Ali Sadikin mengizinkan Yayasan Idayu menggunakan Gedung Kebangkitan Nasional.

Ketika Gedung Kebangkitan Nasional diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 27 September 1982, Yayasan Idayu masih beraktivitas di dalamnya. Seingat saya pada 1987 saya pernah ke sana untuk mengikuti seminar Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI). Entah sejak kapan Yayasan Idayu berpindah dari sana.

Yayasan Idayu bergerak di bidang perpustakaan, dokumentasi, dan ceramah.  Pada 1974 mulai merambah ke penerbitan. Menurut brosur itu, hingga 1983 telah diterbitkan 114 judul buku. Mulai Januari 1984 kegiatan dialihkan kepada PT Inti Idayu Press.

Pendistribusian buku boleh dibilang tidak ada masalah karena Masagung merupakan pemilik Gunung Agung, toko buku terbesar kala itu.

Beberapa buku koleksi pribadi terbitan Yayasan Idayu (Dokpri)
Beberapa buku koleksi pribadi terbitan Yayasan Idayu (Dokpri)
Tokoh
Selain Bung Karno, Masagung banyak kenal dengan tokoh-tokoh kemerdekaan. Maka penulis buku-buku Yayasan Idayu antara lain Bung Hatta, Roeslan Abdulgani, Emil Salim, S.K. Trimurti, Mochtar Lubis, dan Prof. Soegarda Poerbakawatja.

Karena kiprah Yayasan Idayu sangat besar, antara memelopori pameran buku dan dokumentasi, pada 1982 Yayasan Idayu mendapat penghargaan dari Ibu Tien Soeharto. Pada tahun yang sama, Yayasan Idayu memperoleh penghargaan internasional Dag Hammarskjold Award di Belgia. Penghargaan selanjutnya Peace Messenger Award oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1987 di Jakarta.

Sebenarnya Yayasan Idayu bercita-cita memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh yang berjasa di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan. Sayang baru Prof. Dr. Bahder Djohan yang menerima penghargaan itu pada 1980. Seingat saya, Prof. Bahder pernah menjabat Rektor UI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun