Pada era Orde Baru penerbitan buku diawasi oleh pemerintah. Menurut sepengetahuan saya, ada beberapa buku dilarang beredar pada masa ini, misalnya karya Pramoedya Ananta Toer.Â
Setelah memasuki era Reformasi 1999, pintu kebebasan mulai dibuka. Namun, banyak beredar buku yang analisisnya di luar nalar. Di pihak lain, ada segelintir masyarakat yang sok berkuasa dengan melarang diskusi buku atau penjualan buku yang dianggap tidak sesuai dengan suara kelompoknya. Menyedihkan.Â
Boleh dibilang dunia penerbitan tidak merata. Umumnya berdomisili di Jawa. Sayang, penerbit idealis dikalahkan oleh penerbit komersial. Akibatnya beberapa penerbit tinggal nama. Nama yang kini sudah tiada adalah Penerbit Djambatan.Â
Penerbit ini berdiri 19 Februari 1954 oleh Djamaluddin Adinegoro, Kasuma Sutan Pamuntjak, Intojo, Soetomo Wongsotjitro, dan Ahmad Ramali St. Lembang Alam dari pihak Indonesia, serta H.M. van Randwijk dan C. de Koning dari pihak Belanda yang berpihak pada perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.Â
Setelah sahamnya dibeli secara penuh pada 1956, Penerbit Djambatan resmi menjadi perusahaan milik nasional. Penerbit Djambatan menerbitkan banyak buku humaniora.Â
Pada 1983 saya membeli beberapa buku Penerbit Djambatan, seperti Tatabahasa Sanskerta Ringkas dan Kalangwan. Bon pembelian masih ada. Waktu itu saya membeli ketika ada pasar buku murah di Kampus FSUI Rawamangun. Jadi ada diskon 20 persen. Sayang, Penerbit Djambatan tutup pada 1 Januari 2013, setelah 59 tahun beroperasi mencerdaskan bangsa.
Saya juga kehilangan Penerbit Indira. Dulu, Indira sering menerbitkan kisah Tintin karya penulis Belgia. Kalau tidak salah, penerbit ini berkantor di daerah Menteng. Menurut informasi yang saya dapatkan, Indira berhenti beroperasi pada 2006.
Penerbit Negara Pradnya Paramita juga tinggal nama. Pada 1970-an saya masih memakai buku pelajaran terbitan Pradnya Paramita. Penerbit ini terutama menerbitkan buku-buku sekolah. Entah sejak kapan, kemudian Pradnya Paramita dilebur ke dalam PT Balai Pustaka (Persero).
Bhratara Karya Aksara sepertinya juga tinggal nama. Pada 1970-an saya sering melewati kantor sekaligus toko bukunya di Jalan Otista 3, Jakarta Timur.Â