Dalam buku-buku sejarah jelas dikatakan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan pada 17 Agustus 1945. Sejak itulah Indonesia merdeka dari penjajahan. Namun Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia itu. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949 saat ditandatangani penyerahan kedaulatan di Belanda. Pengakuan baru dilakukan pemerintah Belanda pada 16 Agustus 2005 di Jakarta. Mulai saat itu pemerintah Belanda selalu hadir dalam perayaan proklamasi 17 Agustus di Belanda.
Begitulah sebagian kecil yang terungkap dalam Seminar "Diplomasi dalam Mempertahankan Kemerdekaan" di Ruang Serbaguna Perpustakaan Nasional pada 15 Agustus 2019. Seminar terbagi dalam dua sesi. Sesi pertama menghadirkan Prof. Hikmahanto Juwana, Dr. Hassan Wirajuda, dan Dra. Halida Hatta dengan moderator Prof. Djoko Marihandono. Sesi kedua menghadirkan Prof. Fridus Steijlen, Dr. Rushdy Hoesein, dan Kolonel Kusuma dengan moderator Dr. Bonnie Triyana.
Syarat negara
Prof. Hikmahanto didaulat menjadi pembicara pertama. Menurut beliau, kemenangan Indonesia karena aspek diplomasi untuk kemerdekaan. Disyaratkan bahwa syarat sebuah negara adalah memiliki penduduk tetap, memiliki wilayah, memiliki pemerintah, dan memiliki hubungan dengan negara lain.
Nah di sinilah masalahnya. Apakah sejak 17 Agustus 2019 Indonesia layak disebut negara? Dalam teks proklamasi dikatakan,"Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahaan kekuasaan dan lain-lain.....". Harus dilihat pula pembukaan UUD 1945, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur....". Pak Hassan antara lain menguraikan kebijakan pemerintah Jepang di Asia Timur, konsepsi tentang hak bangsa terjajah untuk merdeka, dan langkah diplomasi.
Ibu Halida berbicara peran Bung Hatta dalam diplomasi kemerdekaan, misalnya dengan Mesir dan India, sebagai negara-negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Beliau juga menceritakan kiprah Bung Hatta sebagai ketua delegasi RI untuk perundingan KMB atau Konferensi Meja Bundar di Belanda.
Dalam pembukaan sidang KMB Bung Hatta menyebutkan telah terjadi sebuah pertentangan cara pandang antara pemerintah Kerajaan Belanda dengan Republik Indonesia yang baru lahir. "Faktor psikologis ini sangat dominan di pihak Belanda, yang menyebabkan terjadinya pertumpahan darah," katanya.
Sebagai ketua delegasi, Bung Hatta merasa lega atas pengakuan kedaulatan RI. "Diplomasi adalah usaha setahap demi setahap untuk sampai pada mewujudkan keseluruhan dari target dan tujuan bangsa dan negara," kata Bung Hatta sebagaimana disampaikan Ibu Halida.
Prof. Fridus menyampaikan makalah Perspektif Belanda tentang Dekolonisasi 1945-1950. "Saya ingin memulai dengan mengemukakan bahwa sudut pandang resmi Pemerintah Belanda menyebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh pada 1949 setelah pengalihan kedaulatan ke Republik Indonesia Serikat. Bahwa pada Agustus 1950 Indonesia kembali ke konstitusi 17 Agustus 1945 sama sekali tidak pernah disebutkan dalam buku-buku sekolah di Belanda," kata Prof. Fridus.
Saat ini, kata Prof. Fridus, masyarakat usul ada sembilan nama jalan yang memakai nama tokoh Indonesia. Namun nama Bung Karno dan Bung Hatta tidak tercantum karena rupanya masyarakat masih 'sakit'.
Separatis
Hubungan Indonesia dan Belanda sempat tegang hingga beberapa lama. Tidak heran, kata Pak Rushdy, banyak negara memanfaatkan konflik itu. Jepang sebagai negara yang kalah perang, misalnya, menjadi pemasok utama Indonesia. Begitu pula AS dan beberapa negara Eropa. Batu sandungan lain adalah pembentukan organisasi separatis seperti Republik Maluku Selatan dan Organisasi Papua Merdeka.
Sejarawan militer Kolonel Kusuma banyak berbicara tentang pembentukan POPDA, yakni Panitia Oeroesan Pengembalian Djepang  dan APWI. APWI merupakan singkatan dari Allied Prisoners of War and Internees. Menurut Pak Kusuma, selama ini yang dibicarakan umumnya sejarah politik militer, bukan sejarah pribadi. Seharusnya sejarah militer juga membicarakan sejarah sosial militer. Untuk itulah sejarawan militer harus mencatat hal-hal yang negatif dan positif.
Berbicara sejarah memang menarik. Apalagi ada yang bilang sejarah ditulis oleh para pemenang. Sebagian lagi berpendapat untuk menghancurkan sebuah bangsa, kaburkan sejarahnya. Sejarah punya teknik dan metodologi loh. Sejarah bukan hanya bercerita tentang peristiwa dan tokoh, tapi merupakan sumber inspiratif dan edukatif bagi negerasi sekarang dan mendatang. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H