Pada 1970-an sarana hiburan di Jakarta masih relatif sedikit. Buat anak-anak, paling ada komidi putar atau orang sering menyebutnya korsel.Â
Itu pun hanya sekali-sekali. Biasanya mereka menggunakan tanah lapang. Ketika itu di Jakarta masih banyak tanah kosong yang cukup luas.
Buat para remaja, nonton bioskop sering menjadi pilihan. Di Jakarta pada masa itu sudah banyak bioskop dengan berbagai tipe, dari yang sederhana sampai mewah.Â
Yang sederhana biasanya terdapat di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Uniknya, pada masa itu bioskop kelas rakyat jelata disebut misbar. "Gedung" bioskop itu terbuat dari bilik atau anyaman bambu dan tidak mempunyai atap.Â
Maka kalau gerimis atau hujan, sering kali penonton membubarkan diri. Misbar berarti gerimis bubar. Harga karcisnya seragam. Mau duduk di depan atau belakang harganya tetap sama. Kursi pada bioskop misbar hanya terbuat dari papan panjang.
Yang agak mahalan terdapat di wilayah Pasar Baru hingga Jakarta Kota. Ada perbedaan harga tiket pada bioskop kelas menengah dan atas itu. Biasanya dibedakan atas kelas loge dan kelas stalles.Â
Loge di bagian belakang, sementara stalles di bagian depan. Kalau kebetulan kebagian duduk paling depan, maka melihat gambar film harus mendongak.Â
Bisa-bisa leher kita akan pegal. Stalles sering diolok-olok kelas kambing. Pada bioskop kelas atas, selain loge dan stalles ada balkon. Kemudian istilah-istilah itu diganti kelas 1, 2, dan 3.
Tukang catut
Dulu boleh dibilang ada 'diskriminasi' dalam pemutaran film. Film Barat diputar di bioskop ini dan film Indonesia diputar di bioskop itu.Â
Seingat saya, film India diputar di bioskop Rivoli (Jalan Kramat Raya) dan Nasional (depan Gedung Kesenian Jakarta Pasar Baru). Bioskop Nusantara di Jatinegara boleh dibilang memutar beragam film. Saya pernah nonton film cowboy Django di sini. Juga film komedi yang dibintangi Bing Slamet dan Ateng.