Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Naik Kereta LRT Masih Gratis

10 Agustus 2019   13:19 Diperbarui: 10 Agustus 2019   13:29 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan penghubung stasiun LRT dengan halte TJ (Dokpri)

Sejak 11 Juni 2019 transportasi publik di Jakarta semakin beragam. Saat itu dimulai uji coba publik Light Rail Train (LRT) atau kereta ringan. LRT tujuan Kelapa Gading -- Rawamangun memiliki lima stasiun, yakni Bulevar Utara, Bulevar Selatan, Pulomas, Equestrian, dan Velodrome.

Kalau ingin naik LRT, masyarakat cukup menunjukkan kartu identitas seperti KTP atau Kartu Pelajar/Mahasiswa. Kemudian petugas memberikan kartu singel trip yang berwarna coklat. Kita harus men-tap kartu ini di pintu masuk, lalu terbukalah pintu. Selanjutnya menunggu di depan pintu yang bisa membuka dan menutup secara otomatis. Paling lama kita menunggu kedatangan kereta selama lima menit. Cukup cepat kok. LRT beroperasi pukul 05.30 sampai pukul 21.00.

Kartu singel trip untuk naik LRT (Dokpri)
Kartu singel trip untuk naik LRT (Dokpri)

Nyaman

Masuk ke dalam kereta cukup nyaman. LRT memiliki dua gerbong. Kalau dijumlah, bisa muat sekitar 50 penumpang duduk. Belum yang berdiri. Saat uji coba saya naik dari stasiun Bulevar Selatan. Rumah saya sekitar 500 meter dari stasiun itu.

Cukup cepat sampai di stasiun terakhir Velodrome. Begitu sampai, petugas memberi informasi. "Bapak/ibu yang ingin kembali ke Kelapa Gading, tidak usah turun," katanya. Karena ingin coba-coba, saya pun tetap duduk. Sekitar lima menit kemudian LRT berangkat.

Oh ya, saya pernah beberapa kali ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Turun dari LRT saya menuruni tangga untuk sambung TransJakarta di halte Pemuda Rawamangun. Letaknya di seberang jalan. Jaraknya sekitar 100 meter dari stasiun Velodrome.  Ketika itu tangga yang menghubungkan stasiun Velodrome dengan halte Pemuda Rawamangun belum rampung.

Jembatan penghubung stasiun LRT dengan halte TJ (Dokpri)
Jembatan penghubung stasiun LRT dengan halte TJ (Dokpri)

Sambung

Mulai akhir Juli 2019 jembatan penghubung stasiun Velodrome dengan halte Pemuda Rawamangun mulai berfungsi. Penumpang yang akan meneruskan perjalanan dengan TransJakarta melalui pintu khusus. Belum banyak yang menggunakan pintu itu. Di depan pintu ada beberapa petugas. Kita diminta menulis nama, nomor kontak, dan kartu yang kita gunakan. Yah, tentu untuk data mereka.

Uniknya, setelah mengembalikan kartu singel trip itu, penumpang diberi uang kontan Rp2.000. Ternyata kartu yang kita gunakan terpotong Rp5.500, sementara tiket LRT masih gratis. Jadi kita hanya membayar tiket TransJakarta. Sayang, saya lupa tanya bagaimana kalau kita menggunakan kartu lansia. Yang saya tahu pengguna kartu TJ Card, gratis naik TransJakarta.

Bila naik LRT dan TJ penumpang dapat voucher yang bisa ditukarkan di loket (Dokpri)
Bila naik LRT dan TJ penumpang dapat voucher yang bisa ditukarkan di loket (Dokpri)

Dobel

Ada pengalaman ketika menaiki TransJakarta dari halte Taman Suropati. Untuk pulang, saya punya dua pilihan, yakni rute Bundaran Senayan-TU Gas atau Grogol-TU Gas. Nanti saya berhenti di halte Pemuda Rawamangun untuk selanjutnya sambung LRT dari stasiun Velodrome.

Nah, ketika membayar TransJakarta, ternyata kartu JakLingko tidak berlaku. Terpaksa saya membayar dengan uang kontan. Begitu di stasiun Velodrome, kartu JakLingko saya tap sambil diberikan kartu voucher Rp2.000. Sayang saya tidak perhatikan berapa saldo kartu saya ketika itu. Di pintu keluar stasiun tujuan Bulevar Selatan, saya menukarkan voucher itu dengan uang kontan Rp2.000. Sambil berjalan saya berpikir, apakah saya membayar dua kali, yang berarti Rp7.000. Sekali dengan uang kontan Rp3.500 dan sekali pemotongan kartu JakLingko. Yang jelas, saldo di kartu JakLingko saya tinggal sedikit, padahal belum lama saya isi Rp50.000. Ruginya lagi, ketika mengisi saldo, saya kena biaya Rp1.500.

Yah, inilah model uang elektronik. Kita diibaratkan menabung tanpa bunga. Bayangannya begini, kalau kita isi saldo sebesar 500.000 dan selama beberapa bulan tidak dipakai, kita tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank. Bahkan kalau kita isi di halte TJ atau swalayan kita kena biaya. Boleh dibilang bank yang hutang ke masyarakat, kok masyarakat yang menanggung. Harusnya tidak ada biaya karena bank sudah diuntungkan.

Entahlah sampai kapan naik LRT masih gratis. Yang jelas, masyarakat diuntungkan. Semoga transportasi publik menjadi pilihan. Oh ya jangan lupa, saldo minimal pada kartu Rp5.500.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun