Kalau kita menaiki bus Transjakarta dari halte Harmoni menuju Blok M, maka halte pertama yang dilewati adalah Monas. Di pintu keluar akan terlihat panah kiri Museum Nasional dan panah kanan Monumen Nasional. Monumen Nasional, itulah kepanjangan dari Monas. Masyarakat lebih mengenal Monas karena ada tugu yang menjulang, dilengkapi emas pada puncak tertinggi.
Dulu kawasan Monas amburadul karena banyak pedagang asongan lalu lalang tak karuan. Karena itu beberapa tahun lalu kawasan Monas memiliki pagar keliling.Â
Setelah 2014, baru Senin, 15 Juli 2019 saya sempat ke Monas lagi. Dulu saya meliput Museum Sejarah Nasional yang terdapat di dalamnya. Kali ini saya mengikuti kegiatan Asosiasi Museum Indonesia Jakarta Raya yang disingkat Paramita Jaya. Temu Mugalemon (Museum, Galeri, Monumen). Begitulah kegiatan saban bulan Paramita Jaya.
Kegiatan kali ini menampilkan tiga pembicara, yakni Pak Nunus Supardi (mantan Direktur Purbakala yang kini menjadi Dewan Pakar Paramita Jaya), Ibu Yuke Ardhiati (arsitek dan dosen), dan Ibu Esti Utami (arkeolog dan Kepala UP Museum Seni).Â
Kegiatan didahului kata pengantar oleh Ketua Paramita Jaya Bapak Yiyok T. Herlambang. Selanjutnya dibuka oleh tuan rumah, Plt. Kepala UPK Monumen Nasional Bapak Irfal Guci.
Pak Nunus berbicara pertama. Beliau mengemukakan arti monumen sebagai bangunan dan tempat yang mempunyai nilai sejarah penting dan karena itu dipelihara dan dilindungi Negara. Arti tersebut beliau kutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Arti lain, kata Pak Nunus, sesuatu yang dibuat untuk menjaga ingatan seseorang atau suatu peristiwa.
Dari buku Riwayat Monumen Nasional (2013) memang tertulis monumen berasal dari bahasa Latin monere yang berarti 'mengingat'. Monumen dihubungkan dengan suatu bangunan atau patung yang didirikan untuk memperingati seseorang atau suatu peristiwa penting. Monumen itu sendiri tidak harus berupa bangunan, tetapi dapat juga berwujud tugu, makam, atau wujud-wujud fisik lainnya. Demikian menurut buku tadi.
Pak Nunus kembali menguraikan, pada monumen terdapat unsur-unsur memorial, tugu, obelisk, cenotaph (tugu atau tanda untuk memperingati orang yang dikubur di lain tempat), patung, taman, landmark, dan menara. Soal penamaan pun dikemukakan Pak Nunus, seperti Tugu Nasional (1955), Monumen Nasional (1959), Taman Hiburan dan Pekan Raya (1969), dan Kawasan Medan Merdeka (1995).
Sayembara perancangan Tugu Monumen Nasional disusun pada 10 Mei 1960. Tugu Nasional yang didirikan di tengah Lapangan Merdeka adalah sumber penjiwaan dari Monumen Nasional dan harus dapat menyinari cahaya daya pengaruh dan daya tarik bagi segala bangunan yang akan dibangun di sekitar Lapangan Merdeka itu.Â
Di dalamnya harus ada satu ruangan untuk menyimpan Bendera Pusaka dan memasang papan dari perunggu dengan teks proklamasi ditulis dengan huruf dari lembaran emas murni. Demikian menurut buku Riwayat Monumen Nasional halaman 8 dan 9.
Menurut Sudiro, sebagaimana dikutip Pak Nunus, penggagas Tugu Nasional orang biasa bernama Sarwoko Martokoesoemo. Gagasannya disampaikan pada 1954 dan disetujui Bung Karno. Pada 1955 dibentuk Panitia Tugu Nasional, diketuai oleh Sarwoko. Melalui sayembara dihasilkan pemenang desain Ir. F. Silaban.
Menurut Bung Karno di dalam tugu harus ada museum. Jika nanti museum sejarah dibuka, pengunjung bangsa sendiri atau yang datang dari negeri asing akan tertegun di dalamnya. Dan setelah mereka menjejakkan kakinya di luar mereka akan berkata, "Yes, the Indonesian people are great people. Yes, the Indonesian people are becoming a great people again," demikian Pak Nunus mengutip pidato Bung Karno.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H