Kalau ke Museum Bahari di Jalan Pasar Ikan Nomor 1, Jakarta Utara, jangan lupa mengunjungi menara yang ada di dekatnya. Boleh dibilang lokasi menara berseberangan dengan Museum Bahari, persis di tepi jalan raya. Menara tersebut dikenal sebagai Menara Syahbandar atau Uitkijk.
Dibangun sekitar 1839, fungsi awal menara sebagai pemantau untuk mengawasi kapal-kapal yang keluar masuk Batavia lewat jalur laut. Juga menjadi semacam kantor pabean untuk mengumpulkan pajak atas barang-barang yang dibongkar di Pelabuhan Sunda Kalapa.
Saya masih ingat ketika dilakukan pengerukan pada 1980, muncul benda-benda kuno dari sekitar Jalan Pakin itu. Yang terbanyak adalah keramik. Pada 1980 juga dilakukan pameran benda-benda kuno temuan dari Pasar Ikan di Museum Nasional.
Pada masanya Uitkijk menjadi gedung tertinggi di Batavia, meskipun hanya 12 meter. Lengkapnya ukuran menara 4 x 8 x 12 meter. Bagian luar menara terbuat dari batu. Namun bagian dalam didominasi oleh kayu.
Ada tangga di dalam menara yang boleh dinaiki pengunjung. Justru inilah daya tarik karena pengunjung bisa melihat sekeliling dari ketinggian. Museum Bahari, tempat pelelangan ikan, dan jalan raya bisa terlihat dari atas menara pandang. Jendela-jendela terbuka ada di dalam menara.
Sayang karena terletak di tepi jalan raya yang dilalui truk-truk kontainer, getaran demi getaran dirasakan oleh menara. Akibatnya kondisi menara menjadi miring sehingga dikenal sebagai Menara Miring. Bahkan disebut Menara Goyang karena kalau kita berada di dalam menara, timbul goyang kecil karena dampak kendaraan tersebut.
Di dalam menara terdapat sebuah museum kecil. Beberapa koleksi yang berhubungan dengan kebaharian terpajang di sana, termasuk lukisan. Pada lantai menara terdapat sebuah batu beraksara Mandarin. Dinyatakan bahwa tempat ini adalah kantor pengukuran dan penimbangan. Juga di sinilah titik nol Jakarta. Pada masa kemudian titik nol Jakarta pindah ke Monas. Â
Sebagai bekas benteng, di lantai bawah terdapat ruang bawah tanah untuk perlindungan dan pintu terowongan bisa tembus hingga Taman Fatahillah bahkan kemungkinan hingga Masjid Istiqlal karena dulu pernah ada Benteng Frederik Hendrik. Saat ini pintu menuju terowongan sudah ditutup, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada bagian luar menara terlihat sebuah pintu. Dulu berfungsi sebagai penjara bagi awak kapal yang melanggar peraturan pelabuhan. Juga bagi masyarakat yang suka mabuk-mabukan. Ruangan di dalam cukup pengap. Maklum tidak ada jendela. Kemarin, 7 Juli 2019, saya lihat beberapa orang sempat masuk ke dalam, termasuk beberapa wisatawan mancanegara.
Beberapa meriam tampak di kompleks menara. Semua dipajang mengarah ke arah sana-sini. Pada bagian lain terdapat prasasti peresmian Museum Bahari pada 7 Juli 1977 oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin.
Oh iya, sedikit info, pada 1926-1967, Menara Syahbandar pernah dipakai sebagai Kantor Syahbandar Pelabuhan Pasar Ikan, yang kemudian pindah ke Pelabuhan Sunda Kalapa. Sebagai bagian dari Program Revitalisasi Kota Tua Jakarta yang dimulai pada 2006, pada April 2007 Pemprov DKI Jakarta melakukan perbaikan terhadap Menara Syahbandar. Menara ini termasuk langka, karena itu harus dilestarikan, terutama dari ulah manusia.
Nenek moyangku orang pelaut, demikian kata lagu. Nah, jangan lupa mengunjungi Museum Bahari yah. Banyak informasi tentang kebaharian dan kenelayanan ada di sana. Karcis masuknya cukup murah kok. Tapi harus diingat, Museum Bahari tutup setiap Senin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H