Masalah lain
Saya sendiri pernah memiliki masalah kecil ketika naik bus gandeng. Saat itu saya duduk di bagian belakang. Ketika hendak turun di halte Glodok, pintu belakang tidak bisa dibuka.Â
Saya dan beberapa penumpang berteriak "tunggu, tunggu". Mungkin karena petugas dan pengemudi tidak dengar, jadilah kami turun di halte berikutnya, lalu kembali ke halte Glodok.
Masalah bus gandeng umumnya terjadi di perempatan Senen. Sebagaimana diketahui, halte Senen terletak di dekat lampu pengatur lalu lintas. Masalah muncul manakala bus gandeng hendak berhenti di halte Senen, sementara lampu dari arah Cempaka Putih sudah menunjukkan hijau. Jadilah lalu lintas terhambat karena badan atau ujung bus gandung menutupi jalur.
Masalah seperti ini muncul juga pada jam sibuk di halte Harmoni. Karena merupakan halte transit atau perhentian terakhir, banyak bus antre menurunkan dan menaikkan penumpang. Halte Harmoni dilewati bus-bus tunggal dan gandeng dari arah halte Juanda dan halte Monas.Â
Kalau pas bertumpuk, maka badan atau buntut bus berada di tengah perempatan. Nah, ini menghambat arus kendaraan umum dari arah Juanda menuju Kota. Untuk itu perlu pengaturan dari manajemen Transjakarta.
Saya merasakan adanya bus Transjakarta membantu transportasi publik. Untuk itu saya harapkan secara periodik Transjakarta memperbanyak armada bus. Kalau setiap bulan ada penambahan 100 bus, saya pikir sudah membantu masyarakat. Untuk menghindari penumpukan yang panjang, cukup bus tunggal.
Oh yah, saya mau kasih usul lain agar nama halte Monumen Nasional diganti dengan halte Museum Nasional. Soalnya di depan halte Monas sekarang kan terletak Museum Nasional.Â
Halte Monas bisa dipakai untuk menggantikan halte Gambir 2. Jadi halte Gambir 1 cukup dibilang halte Gambir. Banyak orang, terutama yang baru menggunakan bus Transjakarta, sering salah turun loh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H