Naik bus Transjakarta memang cukup murah, apalagi untuk tujuan lumayan jauh. Kita cukup membayar karcis Rp3.500. Selama ini ada dua jenis bus Transjakarta, yakni bus tunggal dan bus gandeng. Itu secara umum. Bus tunggal memiliki satu atau dua pintu, sementara bus gandeng memiliki tiga pintu untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.
Halte bus Transjakarta sendiri boleh dibilang memiliki dua ukuran, yakni kecil dan besar. Halte disebut kecil kalau hanya satu pintu bus Transjakarta yang bisa untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Halte besar mampu menampung penumpang jika ketiga pintu dibuka sekaligus.
Belum seragam
Sepengamatan saya halte bus Transjakarta belum seragam. Jelas ini tergantung lokasi. Saya sering menaiki bus Transjakarta koridor 2 Pulogadung-Harmoni.Â
Saya perhatikan ada beberapa halte kecil, antara lain di halte Pedongkelan, halte Atrium, halte RSPAD, halte Deplu, halte Istiqlal, dan halte Pecenongan. Sementara bus yang beroperasi ada bus tunggal, ada bus gandeng.
Buat bus tunggal yang berhenti di halte kecil, tidaklah memiliki masalah berarti. Penumpang turun lewat pintu depan, pintu belakang, atau pintu tengah. Nah, masalah akan muncul pada bus besar yang memiliki tiga pintu.Â
Biasanya petugas akan berteriak "pintu depan" atau "pintu tengah". Â Jika dalam keadaan membludak, akan merepotkan penumpang yang berada pada bagian belakang.Â
Sudah beberapa kali saya perhatikan ada beberapa penumpang tertinggal, meskipun sudah berteriak tunggu. Akibatnya mereka berhenti di halte berikutnya, yang tentu saja harus berjalan kaki ke halte yang seharusnya.
Masalah lain
Saya sendiri pernah memiliki masalah kecil ketika naik bus gandeng. Saat itu saya duduk di bagian belakang. Ketika hendak turun di halte Glodok, pintu belakang tidak bisa dibuka.Â
Saya dan beberapa penumpang berteriak "tunggu, tunggu". Mungkin karena petugas dan pengemudi tidak dengar, jadilah kami turun di halte berikutnya, lalu kembali ke halte Glodok.
Masalah bus gandeng umumnya terjadi di perempatan Senen. Sebagaimana diketahui, halte Senen terletak di dekat lampu pengatur lalu lintas. Masalah muncul manakala bus gandeng hendak berhenti di halte Senen, sementara lampu dari arah Cempaka Putih sudah menunjukkan hijau. Jadilah lalu lintas terhambat karena badan atau ujung bus gandung menutupi jalur.
Masalah seperti ini muncul juga pada jam sibuk di halte Harmoni. Karena merupakan halte transit atau perhentian terakhir, banyak bus antre menurunkan dan menaikkan penumpang. Halte Harmoni dilewati bus-bus tunggal dan gandeng dari arah halte Juanda dan halte Monas.Â
Kalau pas bertumpuk, maka badan atau buntut bus berada di tengah perempatan. Nah, ini menghambat arus kendaraan umum dari arah Juanda menuju Kota. Untuk itu perlu pengaturan dari manajemen Transjakarta.
Saya merasakan adanya bus Transjakarta membantu transportasi publik. Untuk itu saya harapkan secara periodik Transjakarta memperbanyak armada bus. Kalau setiap bulan ada penambahan 100 bus, saya pikir sudah membantu masyarakat. Untuk menghindari penumpukan yang panjang, cukup bus tunggal.
Oh yah, saya mau kasih usul lain agar nama halte Monumen Nasional diganti dengan halte Museum Nasional. Soalnya di depan halte Monas sekarang kan terletak Museum Nasional.Â
Halte Monas bisa dipakai untuk menggantikan halte Gambir 2. Jadi halte Gambir 1 cukup dibilang halte Gambir. Banyak orang, terutama yang baru menggunakan bus Transjakarta, sering salah turun loh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI