Membacalah, maka kamu akan mengenal dunia. Menulislah, maka kamu akan dikenal dunia. Begitulah, banyak membaca dan sering menulis membuat saya tertarik pada dunia literasi.Â
Saya mulai senang membaca sejak kecil. Ketika itu saya sering diajak orang tua membeli buku di Gunung Agung. Pada 1960-an hingga 1970-an toko buku Gunung Agung begitu populer.
Saya ingat pernah membaca buku Pak Madong, lalu komik karangan H.C. Andersen. Kalau ada cerita anak-anak atau cerita bersambung di koran, saya baca. Waktu di dekat rumah saya, ada tempat penyewaan komik.Â
Dari tempat itu saya juga membaca komik-komik seperti Si Buta Dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, Gundala Putra Petir, dan lain-lain lagi. Ini waktu duduk di SD.
Ketika SMP saya menjadi pengasuh majalah dinding di sekolah. Di situlah saya mulai belajar menulis, baik puisi maupun tulisan ilmu pengetahuan. Selama dua tahun saya aktif membantu majalah dinding, yang biasanya berganti setiap Senin.
Ketika SMA, guru bahasa Indonesia mulai memperkenalkan perpustakaan. Perpustakaan pertama yang saya kunjungi adalah Perpustakaan Museum Pusat. Dulu letaknya di dalam Museum Nasional sekarang. Namun sejak 1980-an namanya berubah menjadi Perpustakaan Nasional dan pindah ke Jalan Salemba Raya, kemudian ke Jalan Medan Merdeka Selatan.
Bahkan saya sempat menjadi anggota Perpustakaan Museum Pusat. Saya pernah pula menjadi anggota Perpustakaan Daerah DKI Jakarta di Jalan Medan Merdeka Selatan dan Perpustakaan Balai Pustaka di Jalan Gunung Sahari.
Menulis
Minat membaca dan menulis semakin semakin berkembang ketika saya menjadi mahasiswa Jurusan Arkeologi UI, yang waktu itu masih berlokasi di Rawamangun. Hampir setiap kesempatan saya nongkrong di perpustakaan FSUI.Â
Sering juga ke Perpustakaan IKIP Jakarta, kebetulan kampusnya bersebelahan. Perpustakaan lain yang sering saya kunjungi adalah Perpustakaan Pusat Bahasa. Juga dekat kampus FSUI Rawamangun.
Dari banyak membaca, saya belajar menulis artikel. Ketika mahasiswa, saya antara lain menulis di Warta Mahasiswa, Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, dan Mutiara.Â
Honorarium menulis saya anggap cukup lumayan sehingga saya bisa membayar uang kuliah sebesar Rp15.000 per semester dan membeli buku.Waktu itu honorarium menulis Rp10.000 hingga Rp20.000. Sekadar perbandingan harga buku Rp400 hingga Rp4.000.
Ketika sudah lulus, bahkan sampai sekarang, saya tetap menulis. Kalau awalnya cuma menulis masalah arkeologi atau kepurbakalaan, lambat laun saya menulis apa yang bisa saya tulis.Â
Saya pernah menulis masalah pendidikan, pariwisata, kesehatan, dan numismatik, bahkan astrologi dan palmistri. Pokoknya tulisan yang mencerdaskan dan bukan hoaks deh.
Dikenal
Sejak lulus dari Jurusan Arkeologi UI pada 1985, saya tidak pernah bekerja di instansi arkeologi. Namun karena saya sejak lama sudah menulis masalah-masalah arkeologi, masyarakat awam mengenal saya sebagai arkeolog yang 'hebat', hehehe.Â
Mereka bertanya tentang kepurbakalaan ke saya dan minta tenaga untuk kegiatan lelang ke saya. Tentunya masih ada lagi. Bertanya numismatik pun ke saya.
Sesungguhnya saya tidak hanya menyenangi dunia arkeologi. Yang jelas Sepurmudaya (Sejarah, Purbakala, Museum, Budaya). Selain membeli, buku-buku Sepurmudaya saya peroleh dari berbagai instansi secara gratis. Hingga saat itu sudah terkumpul ratusan buku limited edition.Â
Nah, saya begitu terpanggil ketika banyak masyarakat di daerah kesulitan mendapatkan buku Sepurmudaya. Maka sejak 2011 saya mulai berbagi buku ke taman baca masyarakat daerah lewat program HIBU (Hibah Buku).Â
Saya lihat minat baca mereka cukup tinggi. Mereka yang umumnya berpenghasilan tidak menentu ternyata rela berbagi untuk masyarakat sekitar.
Sebenarnya banyak permintaan buku ke saya. Sayang sebagai freelancer, penghasilan saya tidak menentu. Boleh dibilang 'Tempo', tempo-tempo dapat duit, tapi lebih sering gak dapat duit. Gaji gak ada, uang pensiun gak ada, THR dan bonus pun gak ada.Â
Bahkan penghasilan semakin menurun, seiring makin pudarnya keberadaan  media cetak. Dulu saya mendapat banyak honorarium dari media-media cetak, seperti koran dan majalah. Sebagian honorarium saya sisihkan untuk biaya mengambil buku dan ongkos kirim ke berbagai daerah.
Malah untuk meningkatkan minat baca masyarakat, sejak 2015 saya membuat gerakan literasi yang disebut KUBU (Kuis Buku) dan GEMAR (Gerakan Menulis Arkeologi). Â Peminat KUBU dan GEMAR cukup banyak. Ternyata para mahasiswa kalau dirangsang dengan hadiah buku, mampu menulis.
Kalau dihitung, buku-buku saya seluruhnya, berjumlah ribuan eksemplar. Saat ini buku-buku tersebut tersebar di beberapa tempat. Maklum saya belum punya budget untuk membuat Perpustakaan Pribadi. Rak-rak buku pun sudah waktunya diganti karena terbuat dari serbuk gergaji. Akhir 2018 lalu empat rak buku, termasuk banyak buku, rusak parah diserang rayap.
Semoga kalau sudah ada budget, saya bisa membuat Perpustakaan Pribadi yang bisa dimanfaatkan oleh rekan-rekan saya dan juga komunitas. Pokoknya perpustakaan pribadi untuk masyarakat.Â
Di sini bisa dilakukan rapat atau omong-omong, termasuk diskusi yang bermanfaat. Perpustakaan Pribadi akan dilengkapi kafe kecil, yah sekadar teman-teman bisa ngopi dan bikin mie instan. Yah inilah impian seorang arkeolog yang mengabdi untuk masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H