Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Komunitas Blusukan di Pasar Lama Tangerang yang Bersejarah

19 Februari 2019   15:08 Diperbarui: 19 Februari 2019   16:43 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Altar dan tangga jamban di tepi Cisadane (Dok. KPBMI)

Setelah lima tahun tidak blusukan ke Tangerang, Minggu, 17 Februari 2019 lalu saya berkesempatan kembali ke sana. Kali ini bersama Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI). Kami berkumpul di stasiun Tangerang sekitar pukul 10.00. Ada sekitar 30 peserta ikut dalam acara yang bertajuk Blusukan Pasar Lama Tangerang itu. Kota lama Tangerang memang bersejarah. 

Kami berjalan kaki dari stasiun. Tentu saja sambil bertanya dan berdiskusi. Misalnya soal konsep kota bernuansa Islam yang ada alun-alun. Beberapa lulusan sejarah dan arkeologi menjadi pemandu diskusi jalanan. Maklum sebagian peserta memang tidak berpendidikan sejarah atau arkeologi. Bu Ekowati, ahli keramik kuno, juga turut memberi penjelasan.

Diskusi tentang bangunan stasiun Tangerang (Dok. KPBMI)
Diskusi tentang bangunan stasiun Tangerang (Dok. KPBMI)
Museum Benteng Heritage
Tujuan pertama kami adalah Museum Benteng Heritage. Sayang Pak Udaya Halim, pemilik museum itu, tidak berada di tempat. Beliau sedang mempersiapkan acara capgomeh di Yogyakarta. Namun kami diterima oleh staf beliau, Mas Martin.

Museum Benteng Heritage merupakan hasil restorasi. Bangunan tua itu dibangun sekitar abad ke-17. Ada dua bangunan tua bertingkat yang dijadikan museum.  Lantai atas berbahan papan kayu tebal. Di lantai atas inilah terdapat berbagai koleksi unik, berupa artefak kebudayaan Indonesia-Tionghoa.

Sebagian peserta Blusukan Pasar Lama Tangerang (Dok. KPBMI)
Sebagian peserta Blusukan Pasar Lama Tangerang (Dok. KPBMI)
Mas Martin menceritakan soal bioskop dan pompa bensin merk Shell yang pernah ada di Tangerang masa lalu. Lalu soal pendaratan nenek moyang orang-orang Tionghoa Tangerang yang dikenal sebagai Cina Benteng. Yang paling menarik perhatian pengunjung adalah pintu "rahasia" di lantai atas dan sepatu wanita zaman dulu. Pintu itu tergolong "rahasia" karena tidak memiliki gembok tetapi ada semacam pengait di pegangan pintu. Sepatu wanita zaman dulu berukuran kecil karena ada tradisi mematahkan empat jari kaki. Jadi yang utuh hanya jempol.

Buat teman-teman yang belum tahu, Museum Benteng Heritage terletak di Jalan Cilame Nomor 18-20, Pasar Lama, Tangerang 15111 dengan nomor kontak 021-55791139 atau info@bentengheritage.com. Jam buka museum Selasa hingga Minggu pukul 10.00---17.00. Perlu diperhatikan, setiap Senin museum tutup. Namun setiap hari besar buka, waktunya tetap pukul 10.00---17.00.

Di Museum Benteng Heritage (Dok. KPBMI)
Di Museum Benteng Heritage (Dok. KPBMI)
Kelenteng 
Dari Museum Benteng Heritage kami menuju kelenteng Boen Tek Bio. Kelenteng ini terletak di Jalan Bhakti Nomor 14, sekitar 100 meter dari museum. Menurut informasi, kelenteng dibangun sekitar 1750. Sayang Koh Tjin Eng yang ahli sejarah kelenteng tidak ada di tempat. Ketika kami datang, banyak warga bersembahyang di sana. Cukup ramai mengingat Selasa, 19 Februari 2019 berlangsung perayaan capgomeh atau malam ke-15 setelah Tahun Baru Imlek.

Koh Tjin Eng pernah bercerita dulu kelenteng memiliki suatu tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun, yaitu Gotong Toapekong. Tradisi ini berlangsung setiap Tahun Naga. Sayang sekarang baru masuk Tahun Babi, berarti lima tahun lagi. Selain Gotong Toapekong,  umat Boen Tek Bio juga rutin menyelenggarakan pesta Petjun atau Pehcun di Kali Cisadane, yaitu perlombaan balap perahu naga sekitar Mei-Juni.

Kelenteng Boen Tek Bio (Dok. KPBMI)
Kelenteng Boen Tek Bio (Dok. KPBMI)
Masjid
Dari kelenteng, kami menuju Jalan Kalipasir. Di sana ada masjid tua  bernuansa hijau-putih yang populer disebut Masjid Kalipasir. Masjid berukuran  sekitar 16 meter x 18 meter itu dibangun pada 1700 Masehi oleh Tumenggung Pamit Wijaya dari Kahuripan Cirebon. Kondisi masjid sudah mengalami banyak perubahan. "Ciri Tionghoa masih ada berupa pagoda," kata Salam, mahasiswa Arkeologi UI yang tadinya ingin membuat skripsi tentang masjid ini.   

Selama perjalanan kami diliput oleh Jawapos TV. Rupanya TV swasta tersebut memiliki acara khusus tentang komunitas. Ini untuk kesekian kalinya mereka bertemu KPBMI. Sebelumnya wawancara berlangsung di Museum Kebangkitan Nasional.

Makan siang dengan menu mie keriting berlangsung di pinggir Kali Cisadane. Harganya murah meriah. Di seberang, dekat Masjid Kalipasir, dua anggota komunitas diwawancarai Jawapos TV. 

Di Masjid Kalipasir (Dok. KPBMI)
Di Masjid Kalipasir (Dok. KPBMI)
Tangga Jamban
Sehabis makan, kami berjalan kaki sekitar 100 meter. Di tepi Cisadane itu terdapat sebuah gerbang berwarna merah yang merupakan pintu masuk menuju sebuah tempat  yang dikenal dengan nama Tangga Jamban. Dulu terdapat sebuah tangga yang menuju ke jamban atau kamar mandi yang berada di tepi Cisadane. Masyarakat Tangerang 'buang hajat' di sini tanpa kena hukuman.

Di tempat itu terdapat sebuah altar kecil untuk pemujaan dewa penguasa sungai. "Agama apa pun boleh mengajukan permohonan," kata bapak tua petugas altar. Ia menyediakan sejumlah ikan hidup yang biasanya dilempar ke sungai oleh masyarakat pemohon sebagai kias, misalnya minta dagangan laris dan minta jodoh. Di Tangga Jamban semula terdapat sebuah prasasti beraksara Mandarin. Prasasti itu berisi daftar nama 81 donatur warga Tionghoa di bawah serikat Boen Tek Bio. Mereka memberikan sumbangan dana sebesar 18.156 ringgit Belanda untuk pembangunan fasilitas di Kota Tangerang pada 1873. Prasasti tersebut diselamatkan oleh warga, kemudian disumbangkan ke Museum Benteng Heritage.

Altar dan tangga jamban di tepi Cisadane (Dok. KPBMI)
Altar dan tangga jamban di tepi Cisadane (Dok. KPBMI)
Makan duren
Para peserta kemudian ditraktir makan duren oleh Dhanu Wibowo. Awal 2017 lalu ia didaulat sebagai Ketua KPBMI. Beberapa duren habis dalam sekejap. Perjalanan kemudian dilanjutkan melihat bangunan-bangunan bergaya Tionghoa. Ada yang masih relatif asli, ada pula yang sudah mengalami perubahan. Rumah bergaya Tionghoa mudah dikenali, terutama dari bentuk atap.

Tak terasa hari sudah sore. Para peserta pun berpisah. Ada yang menuju stasiun. Ada pula yang masih jalan-jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun