Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Komunitas Blusukan di Pasar Lama Tangerang yang Bersejarah

19 Februari 2019   15:08 Diperbarui: 19 Februari 2019   16:43 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Altar dan tangga jamban di tepi Cisadane (Dok. KPBMI)

Di Masjid Kalipasir (Dok. KPBMI)
Di Masjid Kalipasir (Dok. KPBMI)
Tangga Jamban
Sehabis makan, kami berjalan kaki sekitar 100 meter. Di tepi Cisadane itu terdapat sebuah gerbang berwarna merah yang merupakan pintu masuk menuju sebuah tempat  yang dikenal dengan nama Tangga Jamban. Dulu terdapat sebuah tangga yang menuju ke jamban atau kamar mandi yang berada di tepi Cisadane. Masyarakat Tangerang 'buang hajat' di sini tanpa kena hukuman.

Di tempat itu terdapat sebuah altar kecil untuk pemujaan dewa penguasa sungai. "Agama apa pun boleh mengajukan permohonan," kata bapak tua petugas altar. Ia menyediakan sejumlah ikan hidup yang biasanya dilempar ke sungai oleh masyarakat pemohon sebagai kias, misalnya minta dagangan laris dan minta jodoh. Di Tangga Jamban semula terdapat sebuah prasasti beraksara Mandarin. Prasasti itu berisi daftar nama 81 donatur warga Tionghoa di bawah serikat Boen Tek Bio. Mereka memberikan sumbangan dana sebesar 18.156 ringgit Belanda untuk pembangunan fasilitas di Kota Tangerang pada 1873. Prasasti tersebut diselamatkan oleh warga, kemudian disumbangkan ke Museum Benteng Heritage.

Altar dan tangga jamban di tepi Cisadane (Dok. KPBMI)
Altar dan tangga jamban di tepi Cisadane (Dok. KPBMI)
Makan duren
Para peserta kemudian ditraktir makan duren oleh Dhanu Wibowo. Awal 2017 lalu ia didaulat sebagai Ketua KPBMI. Beberapa duren habis dalam sekejap. Perjalanan kemudian dilanjutkan melihat bangunan-bangunan bergaya Tionghoa. Ada yang masih relatif asli, ada pula yang sudah mengalami perubahan. Rumah bergaya Tionghoa mudah dikenali, terutama dari bentuk atap.

Tak terasa hari sudah sore. Para peserta pun berpisah. Ada yang menuju stasiun. Ada pula yang masih jalan-jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun