Sehabis makan, kami berjalan kaki sekitar 100 meter. Di tepi Cisadane itu terdapat sebuah gerbang berwarna merah yang merupakan pintu masuk menuju sebuah tempat  yang dikenal dengan nama Tangga Jamban. Dulu terdapat sebuah tangga yang menuju ke jamban atau kamar mandi yang berada di tepi Cisadane. Masyarakat Tangerang 'buang hajat' di sini tanpa kena hukuman.
Di tempat itu terdapat sebuah altar kecil untuk pemujaan dewa penguasa sungai. "Agama apa pun boleh mengajukan permohonan," kata bapak tua petugas altar. Ia menyediakan sejumlah ikan hidup yang biasanya dilempar ke sungai oleh masyarakat pemohon sebagai kias, misalnya minta dagangan laris dan minta jodoh. Di Tangga Jamban semula terdapat sebuah prasasti beraksara Mandarin. Prasasti itu berisi daftar nama 81 donatur warga Tionghoa di bawah serikat Boen Tek Bio. Mereka memberikan sumbangan dana sebesar 18.156 ringgit Belanda untuk pembangunan fasilitas di Kota Tangerang pada 1873. Prasasti tersebut diselamatkan oleh warga, kemudian disumbangkan ke Museum Benteng Heritage.
Para peserta kemudian ditraktir makan duren oleh Dhanu Wibowo. Awal 2017 lalu ia didaulat sebagai Ketua KPBMI. Beberapa duren habis dalam sekejap. Perjalanan kemudian dilanjutkan melihat bangunan-bangunan bergaya Tionghoa. Ada yang masih relatif asli, ada pula yang sudah mengalami perubahan. Rumah bergaya Tionghoa mudah dikenali, terutama dari bentuk atap.
Tak terasa hari sudah sore. Para peserta pun berpisah. Ada yang menuju stasiun. Ada pula yang masih jalan-jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H