Tanpa terasa, hari ini 15 Januari 2019, Transjakarta (TJ) telah 15 tahun beroperasi. TJ adalah sistem transportasi Bus Rapid Transit (BRT), yang mempunyai jalur khusus dan hanya berhenti di tiap-tiap halte.Â
Sistemnya amat berbeda dengan bus-bus umum yang dikenal sebelumnya. Karena adanya TJ, bus-bus umum dan kendaraan umum lain yang beroperasi, semakin sedikit.Â
Terasa ada kenyamanan naik TJ. Meskipun sesekali berdesakan, terutama pada jam sibuk, bus TJ dilengkapi pendingin udara. Para penumpang pun dilarang merokok.
Saat ini sudah banyak rute inti dan rute tambahan yang dilayani oleh TJ. Bahkan TJ menyediakan bus-bus pengumpan yang sebagian melalui jalur biasa. Juga bus khusus wanita.
Adanya TJ digagas oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Sutiyoso. Beliau menyontoh Bogota, ibu kota Kolombia. Tujuannya memberikan jasa angkutan yang lebih cepat, nyaman, dan terjangkau bagi warga Jakarta.Â
Pada awalnya tarif TJ Rp 2.000, namun pada 2012 dinaikkan menjadi Rp 3.500. Tarif Rp 2.000 tetap berlaku pada jam khusus pukul 05.00-07.00 untuk kepentingan para pelajar.Â
Harga tiket sengaja dimurahkan karena disubsidi oleh pemerintah provinsi. Dengan demikian diharapkan pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke TJ sehingga kemacetan bisa diminimalisasi.
Pada masa pembangunan halte TJ memang timbul banyak tentangan dari masyarakat. Soalnya halte TJ terletak di tengah jalur, bukan di pinggir seperti halte bus umum.Â
Di tengah jalur itu banyak pepohonan sehingga harus ditebangi. Untunglah kemudian masalah teratasi dan masyarakat bisa memetik keuntungan dari kehadiran TJ.
Dibandingkan sopir atau pramudi kendaraan umum, pramudi TJ terdiri atas pria dan wanita. Mereka berpakaian rapi. Tidak ada kebut-kebutan antar kendaraan seperti pada bus umum.Â
Batas kecepatan maksimal ditetapkan 50 kilometer/jam. Pada 2018 jumlah penumpang per hari sekitar 500.000. Mereka dilayani sekitar 1.300 armada.
Saya yakin perbaikan demi perbaikan dilakukan oleh TJ. Pada awalnya, bus-bus TJ masih sedikit. Bahkan kemudian yang bobrok pun masih tetap dioperasikan. Kemajuan mulai terlihat pada masa Gubernur DKI dijabat Joko Widodo, kemudian Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Pada awalnya tiket TJ masih berupa secarik kertas.Â
Namun sejak 2014 digantikan kartu dari sejumlah bank. Calon penumpang tinggal menempelkan kartu pada alat di pintu masuk. Secara otomatis alat itu akan memotong saldo pada kartu.
Jam operasional bus yang semula pukul 05.00 hingga pukul 22.00 sedikit demi sedikit mulai diperpanjang. Semula menjadi pukul 24.00, namun kemudian menjadi 24 jam. Meskipun frekuensinya tidak sebanyak pada jam normal, namun cukup membantu para pegawai yang dinas malam. Masyarakat yang berumur 60 tahun ke atas pun digratiskan.
Pada masa Gubernur Ahok armada bus TJ diperbanyak. Selain itu Ahok menggandeng Kementerian Perhubungan. Ada sekitar 600 bus merupakan sumbangan kementerian itu.Â
Pembelian bus TJ juga diperketat. Bus-bus buatan Eropa yang berkualitas mulai didatangkan, untuk menggantikan bus buatan Tiongkok yang sering bermasalah. Bahkan pembeliannya pun bermasalah.
Terus terang, ada kekurangan kalau dioperasikan bus gandeng. Beberapa kali saya lihat di halte Senen, baik yang mengarah ke Pulo Gadung maupun ke Ancol, bus kerap menghalangi kendaraan lain.Â
Perlu diketahui, kedua halte terletak dekat lampu lalu lintas. Bayangkan kalau ada dua atau tiga bus gandeng antre berhenti di halte. Hal serupa juga terjadi di halte transit Harmoni.Â
Karena banyak rute maka banyak bus gandeng dan bus tunggal antre menurunkan penumpang. Pada jam-jam sibuk antrean demikian sering mengganggu kendaraan yang lewat. Menurut saya sebaiknya TJ hanya menggunakan bus tunggal.
Sekadar mengingatkan, sekitar 2010 saya harus menunggu sekitar 30-45 menit. Namun sejak 2014/2015 waktu tunggu sekitar 5-10 menit. Ketika zaman Ahok malah dipasang layar informasi berupa televisi untuk mengetahui waktu kedatangan TJ, misal 2 menit. Itulah salah satu kelebihan TJ. Pada halte tertentu seperti di Monumen Nasional dan Balai Kota disediakan toilet.
Saya pikir adanya bus TJ sudah sangat membantu warga masyarakat. Kita cukup membayar satu kali ke mana pun tujuan kita, asal tidak keluar dari halte, termasuk halte transit. Bagaimana pun Rp 3.500 sudah cukup murah.
Tentu saja masih ada kekurangan TJ. Sebaiknya pemerintah pusat dan pemerintah provinsi menambah armada TJ setiap tahun. Untuk jam-jam sibuk, misalnya, waktu kedatangan setiap dua menit. Taruhlah pukul 05.00-pukul 09.00 lalu pukul 16.00-pukul 20.00. Di luar jam sibuk waktu kedatangan cukup lima menit.
Sistem antrean menunggu bus perlu dibuat mengular, jangan menumpuk seperti sekarang. Jadi yang datang lebih dulu akan naik terlebih dulu. Pembagian ruangan untuk wanita di dalam bus juga harus diperjelas. Selama ini banyak penumpang wanita justru duduk di bagian belakang, padahal di bagian khusus wanita masih kosong.
Bukan itu saja, pada tempat-tempat tertentu, terutama putaran dan lokasi yang bersinggungan, perlu dijaga oleh petugas. Prioritaskan bus TJ. Tetap berlakukan sistem ganjil genap untuk mengurangi kemacetan. Semoga pengelolaan TJ semakin bagus dan menjadi contoh kota-kota lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H