Batas kecepatan maksimal ditetapkan 50 kilometer/jam. Pada 2018 jumlah penumpang per hari sekitar 500.000. Mereka dilayani sekitar 1.300 armada.
Saya yakin perbaikan demi perbaikan dilakukan oleh TJ. Pada awalnya, bus-bus TJ masih sedikit. Bahkan kemudian yang bobrok pun masih tetap dioperasikan. Kemajuan mulai terlihat pada masa Gubernur DKI dijabat Joko Widodo, kemudian Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Pada awalnya tiket TJ masih berupa secarik kertas.Â
Namun sejak 2014 digantikan kartu dari sejumlah bank. Calon penumpang tinggal menempelkan kartu pada alat di pintu masuk. Secara otomatis alat itu akan memotong saldo pada kartu.
Jam operasional bus yang semula pukul 05.00 hingga pukul 22.00 sedikit demi sedikit mulai diperpanjang. Semula menjadi pukul 24.00, namun kemudian menjadi 24 jam. Meskipun frekuensinya tidak sebanyak pada jam normal, namun cukup membantu para pegawai yang dinas malam. Masyarakat yang berumur 60 tahun ke atas pun digratiskan.
Pada masa Gubernur Ahok armada bus TJ diperbanyak. Selain itu Ahok menggandeng Kementerian Perhubungan. Ada sekitar 600 bus merupakan sumbangan kementerian itu.Â
Pembelian bus TJ juga diperketat. Bus-bus buatan Eropa yang berkualitas mulai didatangkan, untuk menggantikan bus buatan Tiongkok yang sering bermasalah. Bahkan pembeliannya pun bermasalah.
Terus terang, ada kekurangan kalau dioperasikan bus gandeng. Beberapa kali saya lihat di halte Senen, baik yang mengarah ke Pulo Gadung maupun ke Ancol, bus kerap menghalangi kendaraan lain.Â
Perlu diketahui, kedua halte terletak dekat lampu lalu lintas. Bayangkan kalau ada dua atau tiga bus gandeng antre berhenti di halte. Hal serupa juga terjadi di halte transit Harmoni.Â
Karena banyak rute maka banyak bus gandeng dan bus tunggal antre menurunkan penumpang. Pada jam-jam sibuk antrean demikian sering mengganggu kendaraan yang lewat. Menurut saya sebaiknya TJ hanya menggunakan bus tunggal.