Berbagai sumber ilmu pengetahuan kalau mau diketahui banyak orang dan lestari, tentu saja harus dituliskan. Selama ini dikenal berbagai sarana penulisan, di antaranya kertas. Kertas masa modern---kalau boleh dibilang begitu---biasanya terbuat dari kayu dan sejenisnya. Itulah buku yang dikenal sekarang.
Pada masa yang lebih tua, juga dikenal kertas, bahkan lontar, nipah, kulit kayu, dan sebagainya. Karena berumur beberapa ratus tahun, jadilah istilah naskah kuno. Di antara sejumlah bahan itu, kertas tergolong paling rapuh.Â
Sering ditemui naskah berbahan kertas dalam keadaan amburadul. Naskah-naskah itu ada yang milik pribadi, ada pula milik instansi dan  museum. Beruntung kalau bagian pinggir naskah saja yang rusak.
Yang miris, kalau bagian tulisannya ikut hilang. Saya pernah menulis di sini.
Sejak lama banyak museum memiliki koleksi naskah kuno. Filologika, begitulah salah satu bagian koleksi museum, sejajar dengan Historika, Arkeologika, Geologika, Biologika, dan lainnya. Filologika berasal dari kata filologi, yang secara singkat didefinisikan ilmu yang mempelajari naskah tulisan tangan.
Semua bahan tulisan tangan itu disebut handschrift dan manuscript, itulah dasar kata manuskrip.
Ditinjau dari isinya, ada naskah tentang pengobatan, ada pula tentang nasihat, agama, dan lainnya. Ditinjau dari bahasa, ada yang berbahasa Arab, ada pula yang berbahasa daerah seperti Jawa dan Melayu.
Naskah-naskah kuno menggunakan kertas yang disebut daluwang. Kertas tersebut dibuat dari serat-serat tanaman. Daluwang banyak dipakai di Pulau Jawa dan berkembang pada masa Islam. Ini untuk menggantikan lontar yang dianggap tidak praktis untuk menulis huruf Arab. Begitu informasi dari tulisan Lilis Restinaningsih di internet berjudul "Konservasi dan Restorasi terhadap Naskah".
Pada abad ke-17 digunakan juga kertas impor untuk menulis naskah. Ketika itu VOC memperdagangkan kertas Cina dan kertas Arab berikut tinta sebagai pelengkap sarana menulis. Kertas semacam itu dikenal sebagai kertas Eropa.
Tinta yang digunakan terbuat dari karbon, biasanya jelaga dicampur dengan gum arabic. Hasilnya tulisan atau gambar sangat stabil. Dalam perkembangannya, tinta ditambahi zat tertentu agar cepat kering dan mengurangi kemungkinan memudar.
Lembaran yang sudah dituliskan kemudian dijilid. Pada awalnya, naskah dijilid menggunakan kulit atau perkamen. Setelah itu mulai digunakan kain untuk memperkuat sampul buku.