Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Generasi Kreatif Memaknai Sumpah Pemuda

15 November 2018   21:57 Diperbarui: 15 November 2018   21:58 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemateri, dari kiri Pak Bondan, Pak Berthold (moderator), dan Pak Rizal (Dokpri)

Museum Sumpah Pemuda punya hajatan lagi. Masih dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda, hari ini, 15 November 2018, diselenggarakan diskusi 90 Tahun Sumpah Pemuda bertopik "Makna Sumpah Pemuda untuk Generasi Milenial". Narasumber pada kegiatan itu adalah dua sejarawan, yakni Bondan Kanumoyoso, staf pengajar Departemen Sejarah FIB UI dan J.J. Rizal, dari Komunitas Bambu. Sebagai moderator Berthold Sinaulan, aktivis berbagai komunitas, di antaranya Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI).

Kegiatan dibuka oleh Kepala Museum Sumpah Pemuda, Ibu Huriyati. Menurut Ibu Huriyati, museum harus bermanfaat buat masyarakat lewat informasi dan kegiatan yang disajikan. "Museum harus menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini dan masa mendatang," katanya.

Diskusi dihadiri sekitar 80 undangan, terdiri atas pelajar, mahasiswa, guru, komunitas, dan pemerhati sejarah.

Para peserta diskusi (Dokpri)
Para peserta diskusi (Dokpri)
Internet dan telepon pintar

Jika di awal abad ke-20 para pemuda mulai terbentuk kesadaran akan keindonesiaannya berkat pendidikan, maka di awal abad ke-21 ini para pemuda yang sekarang disebut generasi milenial kesadaran keindonesiaannya telah meluas. Perluasan kesadaran tersebut disebabkan penggunaan teknologi internet dan telepon pintar. Melalui kedua wahana komunikasi tersebut, generasi muda Indonesia semakin terhubung satu dengan lainnya. Demikian kata Pak Bondan di awal makalahnya. "Bahkan mereka mudah berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari negara lain," lanjut Pak Bondan.

Pak Bondan menguraikan, dulu banyak organisasi dibentuk oleh para pemuda yang menempuh pendidikan. Misalnya Budi Utomo oleh para pelajar STOVIA di Batavia. Banyak organisasi menghimpun para pemuda pelajar dari berbagai etnis untuk menyatukan budaya, bahkan menuju Indonesia merdeka.

Selanjutnya muncul organisasi pemuda yang anggotanya adalah para mahasiswa dari beragam suku. Organisasi itu adalah Indonesische Clubgebouw yang kebanyakan anggotanya tinggal di gedung asrama di Jalan Kramat 106. Sekarang gedung itu menjadi Museum Sumpah Pemuda.

Para peserta diskusi (Dokpri)
Para peserta diskusi (Dokpri)
Generasi milenial

Memasuki abad ke-21. Menurut Bondan, muncul generasi baru dalam masyarakat Indonesia yang disebut generasi milenial. Penjelasan tentang arti kata generasi milenial diberikan oleh Sosiolog Karl Manheim. Menurut dia, generasi milenial adalah mereka yang lahir setelah 1981 sampai awal 2001. Jadi kisaran usianya 17 sampai 37 tahun.

Bondan mengatakan, generasi milenial mendapatkan informasi tentang Sumpah Pemuda dari pelajaran sejarah di sekolah, pemberitaan media massa, termasuk internet dan media sosial. Dulu, kata Bondan, masalah utama yang dihadapi para pemuda adalah menyatukan cita-cita bersama, membentuk bangsa Indonesia, dan mewujudkan kemerdekaan. Pada awal abad ke-21 permasalahan yang dihadapi adalah korupsi, pengangguran, kriminalitas, dan sebagainya.

Generasi kreatif

Menurut pengalaman J.J. Rizal pemuda masa kini enggan disebut generasi milenial tapi generasi kreatif. Mereka kreatif karena menggunakan teknologi kekinian. Misalnya membuka toko online serta membuat situs-situs kitabisa dan change.

Namun generasi muda pun dinilai kurang memahami sejarah. Ini terlihat ketika pada 2014 ada deklarasi calon presiden yang sama-sama mengagumi Sukarno. Yang satu menggunakan Gedung Juang 45, satunya lagi Rumah Polonia. Padahal kedua bangunan itu jauh sekali berhubungan dengan Sukarno.

Dibandingkan dulu, saat ini orang sangat mudah mengakses informasi. Sayangnya banyak informasi, terutama lewat media sosial, bernuansa memecah-belah bangsa. Seharusnya apa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda dapat dijadikan landasan dalam memaknai informasi-informasi tersebut. Pernyataan tentang satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa harus menjadi pedoman untuk mencegah perpecahan.

Mari kita maknai nilai-nilai Sumpah Pemuda. Kita pun harus mewaspadai berita-berita hoaks. NKRI harga mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun