Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI) kembali menyelenggarakan Sinau Aksara dan Bedah Prasasti pada Minggu, 30 September 2018, di Museum Nasional. Museum Nasional menjadi pilihan karena di sana banyak terdapat prasasti. Kegiatan kali ini merupakan yang ketiga. Dua kali sebelumnya juga dilaksanakan di Museum Nasional.
Pada dua kali kegiatan, bertindak sebagai pemateri Mbak Sri Ambarwati (Ami) dan Mbak Fifia Wardhani (Fifi). Kali ini Ibu Ninie Susanti, Ketua Departemen Arkeologi UI. Beliau memaparkan tokoh Airlangga dan aksara pada masa itu. Kegiatan Sinau Aksara dan Bedah Prasasti terlaksana berkat gotong royong antara Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia dengan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Museum Nasional, dan Departemen Arkeologi UI.
Ibu Ninie membuat disertasi tentang Airlangga, Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Raja Airlangga memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada 1019-1043. Semasa memerintah, Airlangga mengeluarkan 33 prasasti. Jumlah prasasti tentu bisa bertambah. Siapa tahu masyarakat pada masa sekarang menemukan prasasti yang masih terpendam di dalam tanah.
Dari 33 prasasti, menurut Ibu Ninie, hanya 15 prasasti dapat dibaca dan memuat data sejarah. Yang 18 lagi tidak dapat dibaca karena permukaan prasasti sudah halus (11 prasasti), hancur (6 prasasti), dan hilang (1 prasasti). Pada masa Airlangga juga ditulis naskah Arjunawiwaha.
Di antara prasasti yang ada, Prasasti Pucangan dibawa ke Kalkutta (India) oleh Raffles ketika menguasai Jawa. Sekarang kondisi prasasti itu mengkhawatirkan karena kurang terurus.
Diketahui pula dari prasasti Gandakuti, pada 1042 Airlangga mundur dari takhta dan menjadi pendeta. Namun prasasti yang dikeluarkan sesudah itu menyebut bahwa raja kembali menduduki takhta bersama putri mahkota. Ibu Ninie menduga, prasasti terakhir Airlangga adalah Pasar Legi bertarikh 1043. Setelah itu ia membagi dua kerajaan.
Setelah bercerita tentang sejarah Airlangga, Ibu Ninie masuk ke topik utama, yakni aksara. Menurut Ibu Ninie, di Indonesia berkembang tiga jenis aksara, yaitu Pallawa, Arab, dan Latin. Secara lebih spesifik disebutkan Pallawa Awal berkembang abad ke-4---ke-6, contohnya Yupa dan Tarumanagara; Pallawa Akhir abad ke-7---ke-8, contohnya Tuk Mas, Sriwijaya, dan Canggal; Kawi Awal bentuk kuno (760-856), contohnya Plumpungan dan Dinoyo; Kawi Awal bentuk standar (910-925), contohnya prasasti Raja Kayuwangi dan Balitung; Kawi Akhir (925-1250); Kawi Majapahit (1250-1450); dan Jawa Baru (1600-sekarang).
Setelah tanya jawab yang berlangsung seru, selanjutnya latihan menulis aksara Jawa Kuno masa Airlangga. Sebelumnya panitia membagikan tabel aksara. Para peserta diminta menuliskan nama diri berdasarkan petunjuk tabel aksara. Â Di sela-sela latihan, Ibu Ninie menjelaskan fungsi berbagai tanda baca dan bunyi lain seperti ng dan kata yang diawali vokal.
Peserta Sinau Aksara dan Bedah Prasasti kali ini tetap beragam, seperti penyelenggaraan dua kali sebelumnya. Mereka berasal dari wilayah Jabodetabek. Bahkan ada yang sengaja datang dari Rangkasbitung dan Bandung. Mereka berharap kegiatan seperti ini tetap berlanjut, dalam rangka pembelajaran dan pelestarian kebudayaan kuno.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H