Naskah Nusantara merupakan dokumen tertulis yang menjadi khasanah karya budaya Bangsa Indonesia. Umumnya naskah ditulis pada kertas (daluwang) dan daun rontal. Aksara dan bahasa yang digunakan amat beragam.Â
Maklum, naskah terdapat hampir di seluruh Nusantara. Sepatutnya kita bersyukur bahwa bangsa Indonesia memiliki peninggalan tertulis yang menjadi ciri kemajuan peradaban.
Para pendiri bangsa, sering kali menjadikan naskah sebagai sumber inspirasi. Mereka mencoba menggali dan mencari jati diri kebangsaan melalui sejarah masa lalu . Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika bisa tergali berkat pembacaan yang cermat terhadap naskah Sutasoma.
Sutasoma merupakan kakawin berbahasa Jawa Kuno. Kitab itu dikarang oleh Mpu Tantular pada abad ke-14. Kutipan Bhinneka Tunggal Ika terdapat pada pupuh 139 bait 5.
Naskah kuno lain yang cukup dikenal adalah Nagarakretagama. Naskah itu berasal dari Lombok lalu dibawa ke Belanda. Pada 1973 naskah itu dikembalikan ke Indonesia. Nagarakretagama ditulis oleh Mpu Prapanca pada abad ke-14. Isinya antara lain mengenai perjalanan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit mengunjungi desa-desa di wilayah kerajaannya.
Dari luar Jawa, kita mengenal La Galigo. Naskah dari Sulawesi Selatan itu dianggap naskah terpanjang di dunia. La Galigo berasal dari cerita rakyat yang ditulis menggunakan aksara Bugis kuno di atas daun rontal. Bentuknya seperti kaset. Itulah keunikan lain I LaGaligo, demikian nama lengkapnya. Diperkirakan naskah itu mulai ditulis sebelum abad ke-13 atau abad ke-15.
Ketiga naskah itu yang boleh dibilang menjadi maskot, bisa disaksikan dalam Festival Naskah Nusantara IV 17-22 September 2018 di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Festival naskah memiliki serangkaian acara, yakni seminar internasional, pameran naskah Nusantara, bazar buku, bazar makanan, musik, lokakarya, pemutaran film, dan lomba fotografi. Pembicara dalam seminar antara lain Prof. Muhadjir Effendy, Prof. Jimly Asshidiqie, Prof. Jelani Harun (Malaysia), dan Dr. Mudji Sutrisno.
Seusai pameran saya sempat melihat lokakarya penulisan aksara kuno. Kang Ilham Nurwansah mempraktekkan cara menulis aksara Sunda kuno dengan besi berujung runcing. Ia tengah menyalin naskah Carita Parahiyangan di atas rontal atau daun tal. Satu lembar rontal berukuran sekitar 3 cm x 20 cm. Saya lihat ada empat atau lima baris aksara pada lembaran itu. "Itu membutuhkan waktu sekitar satu jam," kata Kang Ilham.
Kalau menulis begitu saja memang aksaranya tidak jelas. Kata Kang Ilham, agar jelas di atas aksara itu digosok dengan kemiri yang dibakar. Jadi dengan warna hitam dan minyak yang dihasilkan, maka aksara lebih jelas terlihat.