Selasa, 12 September 2018 saya berkesempatan mengunjungi Museum Cakraningrat di Bangkalan, Madura. Museum itu terletak di Jalan Soekarno-Hatta. Tidak jauh dari Polres Bangkalan, demikian patokan utama menuju ke sana.
Sempat terlewati, tapi setelah satu kali bertanya sampai juga saya di museum. Bangunan museum tidak begitu besar, namun cukup banyak menampung benda yang berhubungan dengan sejarah dan budaya Madura.
Pertama kali, Â saya menuju lemari yang memajang keramik asing. Menurut pemandu, keramik-keramik itu berasal dari berbagai daerah di Madura. Sebagian merupakan barang sitaan Pemerintah Daerah Bangkalan dari usaha perdagangan gelap barang-barang antik.
Keramik-keramik itu menjadi bukti adanya interaksi kita dengan bangsa luar, seperti Eropa, Tiongkok, Khmer, dan Jepang. Koleksi lain berupa alat permainan, senjata rakyat Madura, alat transportasi, lampu tradisional, senjata, topeng, alat rumah tangga, dan mebel.
Pendirian museum mulai dipikirkan pada 1950-1954. Ketika itu beberapa tokoh seperti R.A. Roeslan Tjakraningrat sudah tergerak untuk merawat dan melestarikan benda-benda bernilai sejarah warisan nenek moyang. Â Segera dilakukan penghimpunan peralatan, benda, dan dokumen milik Keraton Bangkalan yang masih ada untuk diurus dan dirawat.
Selanjutnya benda-benda tersebut dikumpulkan dan disimpan dalam sebuah gudang yang terletak di kompleks pemakaman raja-raja Bangkalan "Pesarean Aer Mata". Pada tahun-tahun itu juga terbentuk sebuah yayasan bernama Yayasan Kona. Berkat yayasan itu maka pada 1974 dibangun sebuah gedung di Komplek Pendopo Kabupaten Bangkalan di Jalan Letnan Abdullah Nomor 1.
Pada 1975 benda-benda tersebut dipindah ke gedung baru. Sejak saat itu pemeliharaan koleksi dilakukan oleh pemerintah daerah. Pada 1979 gedung tersebut diresmikan sebagai museum dengan nama Museum Daerah Tingkat II Bangkalan.
Karena koleksi semakin banyak, pada 2007 Bupati Bangkalan, Fuad Amin, berhasil membangun gedung museum di Jalan Soekarno-Hatta. Peresmian museum dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur saat itu, Imam Utomo, dengan nama Museum Cakraningrat. Nama untuk mengenang dan menghormati jasa dan kebesaran Pangeran Cakraningrat.
Ketika berkunjung, saya lihat tata pamer museum masih sederhana. Begitu pun alur pengunjung. Namun sebagai tempat pelestarian, keberadaan museum patut dihargai.
Saya tanya ke seorang pemandu, bagaimana merawat benda-benda koleksi ini. Menurutnya, museum dibantu tenaga dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur di Trowulan. Â
Nah, ini masalahnya. Mengapa museum tidak memiliki tenaga sendiri? Memang, demi penghematan boleh-boleh saja. Beberapa koleksi mebel tampak terbengkalai karena kondisinya memprihatinkan. Saya yakin, dana APBD Museum Cakraningrat sangat kecil. Museum masih dipandang harus mendatangkan Penerimaan Asli Daerah (PAD). Yah mana mungkin karena museum bersifat benefit (manfaat), bukan profit (keuntungan).
Museum Cakraningrat berada di bawah pengelolaan Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata. Ini juga kendala karena museum tidak berdiri sendiri. Biasanya kepala museum dijabat oleh Kepala Seksi Kebudayaan, Kepala Seksi Pariwisata, Kepala Seksi Sejarah dan Purbakala, atau apa pun namanya.
Itulah kekurangan museum yang dikelola dinas. Beberapa rekan pernah mengeluh karena museum digabung dengan taman budaya. Beberapa rekan di Jakarta pun sering ngedumel karena surat yang dikirim untuk museum justru sampainya ke dinas. Yang diundang orang museum, yang datang malah orang dinas yang gak ngerti masalah.
Sebaiknya Kementerian Dalam Negeri memberikan perhatian penuh. Sudah saatnya museum-museum yang dikelola pemprov, pemkab, atau pemkot memperoleh status khusus. Bisa Unit Pengelola (UP) seperti di Jakarta atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) sebagaimana di luar Jakarta.
Dalam hal jumlah museum, kita ketinggalan jauh dari banyak negara. Jadi setiap daerah harus didorong untuk mendirikan museum. Apalagi museum merupakan etalase negara dan etalase daerah sehingga setiap warga masyarakat akan mencari informasi dari museum. Jadikan museum sebagai kebanggaan daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H