Beberapa waktu lalu ada pertanyaan ke saya soal komunitas. Saya bilang, menurut saya komunitas ada dua, yakni "melakukan sesuatu" dan "mengumpulkan sesuatu". Komunitas yang "melakukan sesuatu", antara lain organisasi profesi. Yang "mengumpulkan sesuatu" contohnya asosiasi numismatis, perkumpulan filatelis, himpunan keramik, dan komunitas lego.
Sejak lama banyak bermunculan komunitas atau kelompok, terlebih sejak pencanangan Kota Tua Jakarta. Mereka mengusung tema sejarah dan budaya, termasuk museum dan arkeologi. Setelah itu hadir pula komunitas-komunitas lain ikut nimbrung di Kota Tua Jakarta.
Sekelompok individu
Saya coba cari definisi komunitas di KBBI daring. Dikatakan komunitas adalah kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu; masyarakat; paguyuban. KBBI memberi contoh komunitas sastra, yang bermakna kelompok atau kumpulan orang yang meminati dan berkecimpung dalam bidang sastra; masyarakat sastra.
Ada lagi pengertian komunitas menurut Hendro Puspito yang saya kutip dari internet, yakni suatu kumpulan nyata, teratur, dan tetap dari sekelompok individu yang menjalankan perannya masing-masing secara berkaitan demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Apakah komunitas perlu berbadan hukum? Saya pikir tergantung tujuan sebuah komunitas. Kalau hanya bertukar informasi atau melakukan kegiatan sosial dengan biaya pribadi, tidak berbadan hukum pun boleh saja.Â
Sepemahaman saya, anggota komunitas tidak mencari uang lewat komunitas tersebut. Umumnya mereka aktif di komunitas hanya sebagai sambilan. Saya kenal beberapa pegiat komunitas. Ada yang berprofesi PNS, karyawan swasta, guru, mahasiswa, wiraswasta, dan pensiunan.
Ada juga komunitas berbadan hukum, jadi bersifat formal dan memiliki legalitas. Kalau orang biasa komunitasnya berbentuk Perkumpulan. Maklum biaya membuat akte lebih murah. Yang cukup mahal termasuk rumit syarat-syaratnya adalah komunitas berbentuk Yayasan.
Yayasan biasanya dimiliki orang-orang berduit. Merekalah yang mencari uang, komunitas yang mengeksekusi kegiatan. Kalau ketua yayasan atau ketua komunitas merupakan tokoh publik, seperti pimpinan sebuah perusahaan atau selebriti, tidak ada kendala dalam mencari dana. Nah, yang berbentuk perkumpulan yang harus pontang-panting ke sana ke mari mencari dana.
Biasanya komunitas berbadan hukum lebih leluasa mencari dana, terutama dengan adanya program fasilitasi dari pemerintah. Dalam beberapa tahun ini pemerintah sudah memberikan perhatian kepada komunitas karena merupakan ujung tombak di lapangan.
Karena itulah pemerintah memberi rambu-rambu untuk komunitas, antara lain memiliki akte notaris, memiliki surat keterangan domisili, memiliki NPWP atas nama komunitas, memiliki rekening bank atas nama komunitas, dan pengurus komunitas bukan keluarga inti (lihat foto di bawah).
Saya amati banyak komunitas memang bermotif ekonomi. Itu sah-sah saja karena kelangsungan hidup komunitas tergantung dana swadaya. Lain halnya jika berbentuk koperasi. Jelas ada motif ekonomi sekaligus motif sosial, yakni membantu kesejahteraan anggota koperasi.
Yang menarik, ada yang menamakan diri komunitas tapi yang eksis cuma satu-dua orang. Hal demikian saya lihat juga pada museum. Ada beberapa museum yang dikelola hanya oleh satu orang. Meskipun demikian, upayanya patut diberi apresiasi.
Kembali ke masalah komunitas sejarah dan komunitas budaya, timbul pertanyaan, apa sih bedanya karena semuanya bersinggungan. Komunitas sejarah sering melakukan kunjungan ke obyek-obyek arkeologi. Begitu pula komunitas budaya. Lalu bagaimana dengan komunitas arkeologi? Di banyak daerah banyak komunitas yang tertarik tinggalan arkeologi. Mereka melakukan blusukan, pencatatan, dan pendokumentasian. Bahkan ada yang membantu instansi arkeologi melakukan inventarisasi. Tapi mereka belum berbadan hukum.
Umumnya kegiatan komunitas berupa blusukan. Jarang sekali yang melakukan kegiatan di dalam ruangan, seperti pemberian award, diskusi, pelatihan, atau penerbitan. Yang jelas, apa pun yang dilakukan, komunitas harus menjadi mitra pemerintah. Untuk itu pemerintah harus membuat kisi-kisi, lalu melakukan standardisasi dan akreditasi terhadap komunitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H