Karena itulah pemerintah memberi rambu-rambu untuk komunitas, antara lain memiliki akte notaris, memiliki surat keterangan domisili, memiliki NPWP atas nama komunitas, memiliki rekening bank atas nama komunitas, dan pengurus komunitas bukan keluarga inti (lihat foto di bawah).
Saya amati banyak komunitas memang bermotif ekonomi. Itu sah-sah saja karena kelangsungan hidup komunitas tergantung dana swadaya. Lain halnya jika berbentuk koperasi. Jelas ada motif ekonomi sekaligus motif sosial, yakni membantu kesejahteraan anggota koperasi.
Yang menarik, ada yang menamakan diri komunitas tapi yang eksis cuma satu-dua orang. Hal demikian saya lihat juga pada museum. Ada beberapa museum yang dikelola hanya oleh satu orang. Meskipun demikian, upayanya patut diberi apresiasi.
Kembali ke masalah komunitas sejarah dan komunitas budaya, timbul pertanyaan, apa sih bedanya karena semuanya bersinggungan. Komunitas sejarah sering melakukan kunjungan ke obyek-obyek arkeologi. Begitu pula komunitas budaya. Lalu bagaimana dengan komunitas arkeologi? Di banyak daerah banyak komunitas yang tertarik tinggalan arkeologi. Mereka melakukan blusukan, pencatatan, dan pendokumentasian. Bahkan ada yang membantu instansi arkeologi melakukan inventarisasi. Tapi mereka belum berbadan hukum.
Umumnya kegiatan komunitas berupa blusukan. Jarang sekali yang melakukan kegiatan di dalam ruangan, seperti pemberian award, diskusi, pelatihan, atau penerbitan. Yang jelas, apa pun yang dilakukan, komunitas harus menjadi mitra pemerintah. Untuk itu pemerintah harus membuat kisi-kisi, lalu melakukan standardisasi dan akreditasi terhadap komunitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H