Menulis di media cetak pernah menjadi ladang subur untuk memperoleh penghasilan. Saya menggeluti dunia tulis-menulis sejak 1980-an semasa kuliah. Pada 1980-an itu biaya kuliah di UI hanya Rp15.000 per semester, sementara honorarium menulis mencapai Rp10.000-Rp20.000 per tulisan.Â
Bayangkan, nikmatnya kala itu. Dari honorarium itu, saya bisa membeli buku-buku kuliah yang masih saya simpan hingga kini.
Menulis, terutama menulis populer, memang pekerjaan kreatif. Tidak sembarang orang mampu melakukan hal itu. Bahasa harus ringan dan dimengerti orang banyak. Jadi bukan bahasa teknis atau bahasa ilmiah yang hanya dimengerti kalangan tertentu.
Magang
Pada awalnya saya menulis di media kecil. Beruntung di Jakarta banyak media cetak, seperti Merdeka, Pelita, Berita Yudha, Mutiara, Sinar Harapan, Kompas, dan Bisnis Indonesia.Â
Karena suka menulis, saya diajak teman saya magang di tabloid Mutiara. Dulu media ini terkenal dengan rubrik KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) dan Kaonak (tentang pencinta alam). Tabloid Mutiara masih satu grup dengan koran Sinar Harapan, karena sama-sama diterbitkan oleh PT Sinar Kasih. Kedua media beralamat di Jalan Dewi Sartika 136-D, Cawang, Jakarta Timur.
Ketika itu tabloid Mutiara menempati lantai 3, sementara koran Sinar Harapan menempati lantai 2 Gedung Sinar Kasih. Di kedua media itulah saya sering menulis dan sambil belajar.
Saya juga sering menulis di media-media cetak lain seperti Intisari dan Reader's Digest Indonesia. Mungkin kalau dihitung, saya merupakan salah seorang yang sering menulis artikel di media sana-sini. Belasan media cetak pernah saya coba, termasuk Kompas. Lihat saja, honorarium tahun 2001 saja lumayan. Itu baru dari satu media cetak sebulan. Kalau dari empat media, misalnya, yah tentu lumayan.
Berkat menulis, saya pernah dapat 'kapling' di koran Warta Kota untuk mengisi rubrik Wisata Kota Toea. Saya bergonta-ganti dengan dua teman saya. Maklum rubrik ini ada setiap hari. Jadi kalau cuma sendiri pasti ada kendala. Rubrik tersebut ada, kalau tidak salah, sejak 2010 hingga 2013.
Sejak 1990-an saya aktif menulis di media cetak. Meskipun pekerjaan informal, justru menghasilkan pemasukan lumayan. Selain itu, kita dikenal di mana-mana. Apalagi setelah tulisan kita nongol.
Sampai kini, saya menjadi salah seorang yang sering menulis bidang arkeologi. Meskipun saya tidak bekerja di instansi arkeologi, tapi nama saya dikenal sebagai arkeolog yang handal, hehehe.... Apalagi saya punya blog arkeologi yang saya buat pada 2008 dan blog museum yang saya buat dua tahun kemudian.
Bidang humaniora sebagaimana tulisan-tulisan saya itu memang bidang langka. Entah kenapa sejak lama media-media cetak enggan memperbanyak rubrik tersebut. Yang justru ditambah adalah rubrik Olah Raga.Â
Coba perhatikan berapa banyak rubrik tersebut pada tiap-tiap media cetak. Pasti beberapa halaman, terutama saat piala dunia sepak bola ini. Menyedihkan memang rubrik Humaniora kurang diperhatikan.
Sayang sejak beberapa tahun lalu, masa subur untuk menulis di media cetak, surut sedikit demi sedikit. Banyak media cetak terdesak oleh media daring. Lihat saja beberapa media cetak sudah almarhum, seperti Sinar Harapan, Suara Karya, majalah Reader's Digest Indonesia, dan banyak lagi. Lihat juga berapa banyak yang sedang sekarat.
Jurnalisme warga tidak kalah loh. Bahkan banyak wartawan mengutip dari tulisan-tulisan warga. Saya sendiri pernah dapat Anugerah Jurnalistik M.H. Thamrin 2017 yang diselenggarakan PWI Jaya untuk kategori Citizen Journalism. Media cetak pun harus bisa berbagi, karena generasi 'zaman old' masih mengandalkan bacaan tercetak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H