Untuk keenam kalinya pengurus Asosiasi Museum Indonesia DKI Jakarta atau Paramita Jaya menyelenggarakan acara yang disebut Temu Mugalemon, singkatan dari Museum, Galeri, dan Monumen.
Kali ini berlangsung pada Jumat, 18 Mei 2018 di Museum Trisakti di bilangan Grogol. Tanggal 18 Mei dipilih karena bertepatan dengan Hari Museum Internasional yang diselenggarakan di banyak negara. Juga sebagai peringatan 20 tahun tragedi 12 Mei 1998 yang dikenal sebagai Tragedi Trisakti. Ketika itu, empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal karena tertembak peluru, yang sampai kini belum diketahui siapa pelakunya.
Kegiatan dibuka dengan salam selamat datang oleh Kepala UPT Humas Universitas Trisakti sekaligus Kepala Museum Trisakti Dr. Ir. Rully Besari Budiyanti. Setelah itu Rektor Universitas Trisakti Prof. dr. Ali Gufron Mukti memberikan kata sambutan sekaligus membuka kegiatan.
Tanpa disangka ada kejutan oleh beberapa petinggi Universitas Trisakti seusai rektor membuka acara. Kue taart lengkap dengan lilin dan lagu selamat ulang tahun bergema di ruangan. Pak Ali Gufron ternyata kemarin berulang tahun. Ia lahir pada 17 Mei 1962. Â Sontak saja beberapa kepala museum, pemerhati, komunitas, dan pengamat yang mengikuti Temu Mugalemon, memberikan ucapan selamat.
Temu Mugalemon mengambil tema "Pilar Informasi Sejarah Bangsa". Dua narasumber yang berbicara adalah Dedah R. Sri Handari, mewakili Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman dan Ali Akbar, dosen di Departemen Arkeologi UI.
Banyak hal diungkapkan Bu Dedah, antara lain tentang istilah museum. Apalagi di dalamnya dikatakan museum merupakan lembaga nirlaba (non-profit). Ternyata boleh saja museum mencari keuntungan, asalkan keuntungannya dimanfaatkan untuk pengembangan koleksi atau museum.
Bu Dedah berbicara juga tentang Undang-undang Cagar Budaya 2010 yang di dalamnya sedikit membicarakan museum dan pendidikan buat para kurator museum. Menurut Bu Dedah, target pemerintah adalah 150 orang. Namun baru 110 yang mengikuti pendidikan kurator dan yang dianggap layak baru 95 orang.
Untuk meningkatkan kualitas museum, pemerintah juga melakukan standardisasi sekaligus akreditasi museum. Nanti ada museum bertipe A, tipe B, dan tipe C. Â Tipe A merupakan tipe terbaik, sementara tipe C berkategori cukup.
Pak Ali Akbar mengatakan dalam arkeologi dikenal bentuk, ruang, dan waktu. Nah dalam museum perlu ditambah tokoh. Melalui keempat hal inilah bisa disusun kisah. Kisah yang terjadi ditampilkan kembali dalam bentuk komik, novel, foto, dan video yang kesemuanya bisa dilakukan oleh masyarakat. Ada lagi pengajaran oleh lembaga pendidikan dan publikasi oleh lembaga riset. "Museum sebenarnya bisa melakukan itu semua," kata Ali Akbar. Â
Seharusnya pula, kata Ali Akbar, orang-orang museum memiliki otoritas. Dengan demikian orang museum menjadi tempat bertanya. Yang terjadi justru kebalikannya, malah orang museum yang bertanya kepada akademisi atau peneliti.
Pak Berthold Sinaulan bertanya tentang minat generasi sekarang terhadap museum, justru hanya ingin berswafoto dengan koleksi. Sayang informasi tentang koleksi tersebut, mereka abaikan. Padahal, tiket masuk ke museum tersebut cukup tinggi.
Jelas ada kecenderungan baru, mereka datang ke museum dengan tujuan utama mencari obyek atau latar foto yang bagus. Foto-foto itu kemudian mereka unggah ke media sosial, seperti instagram, facebook, atau twitter.
Uniknya, museum-museum seperti itu mampu menyedot banyak pengunjung, dibandingkan museum-museum yang menyediakan informasi ilmu pengetahuan. Untuk itulah perlu dicari cara agar semua komponen masuk, sehingga museum menjadi daya tarik karena informasi yang tersedia. Bukan karena instagramable atau obyek swafoto yang menarik.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H