Usai mengunjungi Museum Kepresidenan Balai Kirti di kompleks Istana Bogor, saya dan empat pengurus Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI) beralih ke Museum Etnobotani. Kalau Museum Kepresidenan terletak di Jalan H. Juanda Nomor 1, Museum Etnobotani di Jalan H. Juanda Nomor 22. Letak kedua museum hampir berseberangan.Â
Di bagian depan ada papan nama kecil, Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (Munasain). Begitu masuk ke halaman, kami agak bingung karena tidak ada tanda-tanda pintu masuk. Seorang petugas keamanan mengantar kami sampai pintu masuk museum. Ternyata letaknya di bagian kanan gedung, tapi harus menuruni beberapa anak tangga.
Itulah Museum Etnobotani berada di lantai 1. Kami segera membayar karcis masuk sebesar Rp5.000 per orang. Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia ada di lantai 2 dan seterusnya. Saat ini masih dalam tahap pembangunan, sehingga kami tidak diperbolehkan masuk.
Etnobotani berasal dari kata etno (suku bangsa) dan botani (ilmu tumbuh-tumbuhan). Â Maka pameran menampilkan barang atau benda yang dibuat oleh tumbuhan tertentu dan dihasilkan oleh etnis tertentu.
Berhubung sudah sore, sekitar pukul 15.30, kami cepat-cepat saja berkeliling. Ada sekitar 2.000 artefak di museum itu, berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Koleksi museum berupa barang-barang untuk keperluan rumah tangga, pakaian tradisional, mainan anak, peralatan pertanian, alat-alat penangkap ikan, alat musik, jamu, dan sebagainya. Artefak etnobotani itu dipamerkan berdasarkan jenis tumbuhan dan pemanfaatannya.
Saya lihat di lemari display jamu ada kencur, jahe, lempuyang, adas, laos, temulawak, dan sebagainya. Di area pamer lain ada kerajinan tangan tradisional dari anyaman bambu, seperti bakul, keranjang, topi, dan tas. Ada juga pukulan kasur terbuat dari rotan. Saya ingat alat ini pernah digunakan ibu saya ketika menjemur kasur yang berbahan kapuk.
Museum etnobotani juga memamerkan alat-alat musik terbuat dari kayu dan bambu, antara lain gendang, angklung, dan beberapa alat petik.
"Alat penangkap ikan ini bahannya sama-sama dari bambu tapi bentuknya berlainan. Ini berasal dari beberapa daerah," kata Dian, pemandu museum yang menemani kami.
Ruang pamer lain berisi alat tenun tradisional, perlengkapan rumah tangga, dan peralatan kerja. Menjelang bagian akhir, ada miniatur rumah tradisional yang terbuat dari bambu dengan atap dari dedaunan.
Pendirian Museum Etnobotani dicetuskan oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo, yang saat itu menjabat Kepala MIPI (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia), cikal bakal LIPI. Ketika itu beliau sedang meletakkan batu pertama pembangunan gedung baru Herbarium pada 1962. Rencana pembangunan dimantapkan kembali ketika Dr. Setijati Sastrapradja memegang jabatan Direktur LBN (Lembaga Biologi Nasional) pada 1973. Museum Etnobotani Indonesia, begitu nama lengkapnya, akhirnya diresmikan pada 18 Mei 1982 oleh Menristek B.J. Habibie. Â
Sejak 2016 LIPI mengubah konsep Museum Etnobotani menjadi Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia. Gedung museum menempati lima lantai, termasuk lantai dasar yang saat ini masih digunakan sebagai Museum Etnobotani.
Perkembangan teknologi modern sudah begitu cepat. Akibatnya pengetahuan tradisional tentang alam mengalami erosi, sehingga perlu dipelajari dan didokumentasikan di dalam museum. Semoga nantinya Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia bisa berperan untuk itu.
Museum Etnobotani buka Senin---Kamis pukul 08.00-16.00, Jumat pukul 08.00-11.00 dan pukul 13.00-16.00. Sabtu dan Minggu museum buka pukul 09.00-14.00. Untuk kontak silakan hubungi surat elektronik munasain@mail.lipi.go.id, telepon 0251-8387703, atau http://munasin.lipi.go.id.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI