Arkeolog dari Makassar pun ikut berkomentar. "Pikun atau tidak, tetap serakah. Bangunan di Brawijaya sudah dia ubah jadi rumah gedung," katanya. Rumah itu bekas rumah instansi bank. Lokasinya deretan depan Pangudi Luhur.
Diskusi masih berlanjut di dinding sebelah. Kata seorang arkeolog, ada dua tugas yang harus dilakukan arkeolog terkait berita JK tersebut. Pertama, menjelaskan secara konseptual atau analisis kenapa pikiran JK bisa muncul. Dalam hal ini, arkeolog harus menguasai teori poskolonial. Kedua, melakukan advokasi publik untuk menjelaskan kenapa pemikiran seperti JK itu salah kaprah dalam konteks kebijakan cagar budaya.
Tentang cagar budaya ada komentar menarik yang pantas disimak. "Harusnya kan, mau peninggalan rajakah, penjahatkah, pengemiskah, atau penjajahkah, jika kaya akan nilai sejarah, maka harus dipugar. Ini agar menjadi saksi sejarah yang bercerita banyak akan kisah di masanya. Dengan demikian kita semua dapat mengetahui dan merasakan bagaimana kisah berjalan pada masa tersebut," demikian komentarnya.
"Dari sisi arsitektur bangunannya saja, ini luar biasa kisahnya. Apalagi kalau kita bisa merasakan denyut kehidupan di dalam bangunan dan sekitarnya pada masa itu," tambah yang lain.
Nah, ada seorang yang berkomentar soal Undang-undang Cagar Budaya 2010. Kata dia, kalau tidak sepakat dengan isi Undang-undang Cagar Budaya, kalau masa lalu dianggap tidak penting, hanya masa depan yang penting, ajukan saja judicial review ke MA agar UU itu dicabut. Lalu mari sama-sama kita hancurkan semuanya, termasuk Istana Negara. Wapres kok mikirnya aneh.
Menangani cagar budaya memang sulit. Kita harus berhadapan dengan penguasa, seperti halnya perobohan Pasar Cinde di Palembang untuk digantikan mal. Dalam hal ini Undang-undang Cagar Budaya seperti mandul. Ada juga yang berhadapan dengan pihak militer atau kepolisian, contohnya benteng kuno.
Bahkan ada yang berhadapan dengan masyarakat karena banyak benda arkeologi masih terpendam di pekarangan warga. Atau banyak bangunan kuno masih difungsikan oleh pemiliknya. Perlu diketahui, kita mengenal monumen mati (misalnya candi) dan monumen hidup (misalnya gereja, masjid, dan keraton).
Yang paling sulit adalah menangani benda-benda kuno dari dalam laut. Kita masih memiliki sedikit SDM. Peralatan pun masih minim.
Sejak beberapa tahun lalu mulai ada program pelibatan publik. Dalam hal ini banyak komunitas pelestari sejarah dan budaya ikut berperan aktif. Semoga ke depan memberi hasil positif.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H